CHIYA DAN PERSOALAN KONSUMSI NUTRISI HARIANNYA*

Chiya (saat ini berumur 3 tahun 6 bulan), putri saya, punya persoalan makan dan minum susu yang tak biasa. Ia tak suka susu (bahkan dari baunya) sementara ia juga hampir-hampir tak punya makanan favorit. Heran, ya. Jika anak-anak lain bisa sangat lahap atau bergairah jika melihat kue tart, es krim atau cokelat, dia hanya biasa saja. Mungkin ekspresi awalnya sama dengan teman-temannya: bersemangat seolah-olah bisa menghabiskan berpotong-potong kue tart. Namun, coba sodorkan sepotong saja, Chiya mungkin cuma mencolek krimnya saja dan sudah. Atau yang paling banter, ya mencicipi separuh saja. Es krim pun hanya mau yang fruity flavor. Kalau diberikan yang rasa susu (meski dengan tambahan rasa stroberi atau cokelat), dia akan langsung menolak dan bilang, “aku engga mau yang ini, Bunda...”.

Namun, bagaimanapun sulitnya, kami sebagai orang tuanya harus tetap memberikan berbagai makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Kami pun pernah mengalami masa sulit di mana Chiya betul-betul susah makan dan minum susu. Meski saat ini kondisi makan dan minum susunya terbilang stabil, namun semua ini tidak lepas dari usaha keras kami untuk membantunya menciptakan habbit makan yang baik. Tulisan ini akan mendeskripsikan beberapa usaha untuk tidak mengalah dan menyerah dalam menghadapi sikap picky eating pada putri kami: Chiya.

Persoalan komsumsi susu
“Bakat”nya ini sudah terlihat sejak dia bayi. Sejak dia masih menyusu ASI. Setiap dia akan saya susui, dia selalu uek (ekspresi seperti mau muntah). Padahal, mulai saja belum. Ketika dia berusia enam bulan lebih sedikit, dengan tiba-tiba dia memutus hubungan per-ASI-an kami. Meski, dalam hati saya bersyukur juga: setidaknya masa eksklusif enam bulan itu telah dilampaui. Namun yang jadi masalah adalah, selama dia masih menyusu, kami sama sekali tidak mengenalkan susu formula padanya. Padahal pada masa pertumbuhan ini, dia masih sangat butuh asupan kalsium dan berbagai nutrisi penting lainnya untuk mensupport pertumbuhannya.

Kemudian kami mulai mencoba memberikan susu formula padanya agar imunitas tubuhnya tidak drop terlalu jauh. Tidak dengan dot, sebab dia trauma dengan payudara dan segala bentuk imitasinya. Akhirnya, setiap pagi bangun tidur, dia minum secangkir kecil susu hangat, pakai sendok. Ia awalnya mengatupkan mulutnya dan uek tiap kali sendok mau mampir ke mulutnya. Mungkin juga ia takut jika susu yang diberikan padanya itu adalah ASI perahan saya. Dengan sangat terpaksa, kami beri tambahan gula supaya susunya lebih manis. Selain itu yang awalnya turun tangan memberikan susu adalah suami saya, agar Chiya percaya bahwa itu bukan ASI. It works, dia akhirnya mau minum susu dengan cara itu.

Kami selalu mencoba menambah porsinya ketika ia mulai bisa menikmati secangkir susu itu. Selama sekitar setahun ia bisa bertahan dengan satu merek susu mahal, yaitu merek X. Namun, ternyata ia mulai menampakkan tanda-tanda bosan. Lalu kami mulai mencari merek-merek susu lain yang menyediakan beberapa rasa yang mungkin bisa “menggodanya”. Kami memutuskan untuk memilih susu rasa coklat dan menemukan beberapa merek lokal, yaitu: Y dan Z. Tetapi kedua merek itu tidak bisa “meluluhkan” kami dan cenderung mengecewakan. Karena jika ia minum susu Y, warna dan tekstur (maaf) BAB Chiya jadi coklat kehitaman dan encer. Sementara kedua merek itu punya bau khas susu yang begitu menyengat yang sensitif bagi Chiya.

Persoalan makan
Nah, jika minum susu susah, seharusnya asupan nutrisi bisa disupport dari makanan. Well, ternyata tidak begitu keadaannya. Sejak masa makan bubur susu, ia sudah kebiasaan mengatupkan mulut ketika sendok sudah berada di depan mulutnya. Untuk mensiasatinya, kami pakai kerupuk tipis yang dipotong-potong kecil untuk membuatnya membuka mulut. Harus tricky, memang. Nah, ketika sudah naik ke level bubur tim, tantangannya berbeda lagi. Kali ini adalah ngemut atau kebiasaan membiarkan makanan tidak dikunyah dalam mulut. Kebiasaan buruk ini kemudian jadi kebiasaan hingga dia besar. Waktu usia jelang satu tahun, ia tak pernah saya ajak makan ke luar rumah, melainkan berada di depan tivi. Melanggar kaidah makan yang baik, memang. Namun inilah siasatnya supaya ia bisa lancar mengunyah. Sebab, tiap kali tayangan iklan, ia akan takjub dan bisa tidak berkedip jika saking kagumnya. Apalagi jika iklan anak-anak yang menarik secara audio-visual. Inilah kesempatan saya menyuapi dan membuatnya mengunyah makanan lebih cepat.

Pada masa ini, rekor terlama pernah diraih olehnya. Selama satu setengah jam, ia hanya bisa menghabiskan separuh porsi makannya! Padahal, semua mainan sudah dikeluarkan dan tayangan tivi tetap menyala untuknya. Fiuh... Sementara itu, ketika sudah mulai makan nasi, saya kira ia akan mulai punya makanan favorit karena pada masa ini ada  berbagai macam makanan yang sudah bisa diberikan padanya. Dan ternyata tidak. Makanan favorit hanya akan jadi favorit pada momen tertentu saja. Misalnya, nasi goreng. Sekali-dua kali mungkin ia akan makan nasi goreng dengan lahap. Selebihnya, maka dia bosan dan nasi goreng bukanlah favorit lagi. Poin positifnya adalah bahwa Chiya tidak pernah menolak sayuran. Mungkin karena sejak bayi ia selalu diberi sayur-sayuran. Mungkin ada beberapa jenis sayuran yang ia tolak, seperti buncis atau batang sawi. Alasannya karena kedua sayuran itu susah dicerna dan cenderung meninggalkan ampas, apalagi jika tidak dimasak sampai lunak.

Level picky eater pada Chiya adalah persoalan bahwa ia sangat pemilih soal rasa, tampilan hingga kualitas makanan. Ia tidak mau makanan yang aroma dan bumbunya kuat dan kental misalnya dari bahan santan, seperti opor atau kari. Atau yang menurutnya buruk dari segi tampilan, seperti oseng-oseng. Sementara itu, ia juga susah makan jika makanannya bukan masakan baru (sudah dari pagi atau siang) dan juga  gampang bosan. Jadi, agendanya memang dobel: selain harus memperjuangkan menu makanannya, saya juga harus berusaha membuat kebiasaan ngemutnya hilang atau minimal berkurang.



Usaha untuk tetap mencukupi kebutuhan nutrisinya
Mulanya enggan mengganti susu lama Chiya dan mencoba merek baru. Bukan apa-apa, ini seperti gambling saja. Kami takut dia tidak cocok dengan susu barunya dan kemudian tidak mau minum susu sama sekali. Ini yang tidak mau saya pertaruhkan, saya lebih memilih diam dalam comfort zone.

Melihat keadaan cucunya yang susah minum susu, Ibu saya menyarankan untuk mengganti susu Chiya dengan merk P. Awalnya, saya ragu. Sebab ini tidak main-main, sekali Chiya menolak susu yang tidak ia sukai, akan butuh usaha lebih keras lagi untuk mengembalikan kebiasaannya. Beliau ternyata telaten membaca komposisi dari beberapa produk susu ketika belanja di supermarket. Menurutnya, komposisi dalam merk P tepat dengan kebutuhan yang diperlukan Chiya. Merk P yang memiliki nutrisi tepat dan seimbang dirasa cocok dengan kesulitan kami dalam memberi susu dan mengatasi kesulitan makannya.
Kemudian, ketika beliau datang ke Jogja, beliau membawa merk P untuk Chiya. Ketika saya buka kalengnya, ternyata aroma susunya tidak sekuat produk susu yang pernah kami coba. Aromanya cenderung lebih manis. Porsi susu yang diminum Chiya tergolong sangat sedikit, bahkan frekuensinya malah berkurang. Sebelumnya dua kali sehari, saat ini hanya sekali sehari. Meski demikian, minimal beberapa nutrisi yang dibutuhkan Chiya telah dipenuhi melalui merk P. Bagaimana pun, saya merasa tenang telah memilih merk P.

Ketika beranjak pada level nasi dan makanan yang lebih padat, inilah saatnya memvariasikan makanan agar ia lebih tertarik pada aktivitas makan. Saya akhirnya mendedikasikan diri untuk belajar dan bereksperimen masak. Memang bukan jaminan Chiya jadi doyan makan. Tetapi setidaknya makanan yang ia makan setiap hari jadi lebih bermacam-macam, mengingat ia seorang yang gampang bosan. Dan doa saya, semoga minimal ada satu makanan yang jadi favoritnya. Chiya memang tidak pernah terlihat lahap ketika makan, kecuali pada beberapa kondisi. Pertama, ketika ia lapar sangat. Dan kedua, ketika makanannya dirasa cocok. Ketika dua kondisi itu bertemu, maka keajaiban muncul: ia mau makan sendiri dengan lahap dan menolak disuapi. Meski mungkin jika makan sendiri tidak sampai suapan terakhir, namun bahagia sekali rasanya melihat itu.

Untuk mengatasi rasa bosan jika menu makanan siang sama dengan menu sore, maka saya bersiasat untuk mengajaknya makan sore di luar, sambil bersepeda dengan teman-temannya lainnya yang juga sama-sama sedang disuapi juga. Kadang, kebersamaan bisa menstimulus dia untuk makan lebih cepat dan mau mengunyah makanannya. Selain itu, bagaimana pun juga, ia butuh bersosialisasi dan memiliki kehidupan sosial di luar rumah. Selain itu, saya selalu mengingatkannya untuk mengunyah di tiap suapan, juga memberinya pujian jika ia makan cepat. Usaha ini penting dalam membantunya membentuk kebiasaan makan yang baik hingga kelak ia tambah besar.

Saat ini, hasrat makannya sudah jauh lebih baik. Seiring aktivitas hariannya yang bertambah banyak, maka kesadarannya akan pemenuhan rasa lapar semakin tinggi. Kadang, sehabis pulang bermain (antara pukul 09.30-10.00), ia mulai mencari cemilan yang ada di rumah. Sebetulnya, apapun yang ia minta akan selalu saya berikan, asal baik dan cukup bernutrisi. Porsi makan pun selalu saya tambah, walau sedikit demi sedikit. Begitu pula dengan susunya. Meski tidak pernah melebihi porsi normalnya, setidaknya sesekali porsinya saya tambah. Kadang ia juga minta dibuatkan susu dingin dari susu kental cokelat. Tidak banyak, tentu saja. Hanya sekitar 1/3 bagian dari ukuran gelas mungil. Kebiasaan ini didapat setelah melihat temannya minum susu kental. Tetapi, merk P tetap saya berikan pada pagi hari. Nah, untuk persoalan bau susu, masih tidak ia sukai sampai sekarang. Meski sebetulnya susu merk P baunya tidak terlalu menyengat seperti susu-susu lainnya. Walau begitu, saat minum susu tetap harus dengan sedotan dan ditutup agar baunya tidak sampai dihirup.

PENUTUP
Buat saya, aktivitas makan adalah aktivitas penting karena di dalam aktivitas tersebut ada sikap-sikap yang akan jadi kebiasaan sampai mereka kelak dewasa. Misalnya, penjadwalan makan yang konsisten setiap hari. Apakah hanya dua kali sehari atau tiga. Atau, apakah mulai makan siang jam 12 atau jam 2. Atau persoalan pembiasaan aktivitas makan yang selalu dilakukan di luar rumah. Atau apakah akan diberi makan jika anak memintanya saja. Semua itu akan menjadi kebiasaan bahkan sampai ia besar.

Di luar pembentukan habbit tersebut, tentu saja ada hal-hal yang jadi tantangan para orang tua. Misalnya kesulitan yang datang dari para anak, seperti masalah picky eater. Walau sulit, tetap berusaha dan jangan pernah mengalah pada sikap anak. Namun bukan berarti kita sebagai orang tua bersikap lebih keras. Lakukan dialog dan cari cara lain untuk mengatasinya. Jika perlu, kontak beberapa teman dan share keadaan yang sedang dihadapi. Kadang, berbagi cerita mampu memberikan beberapa masukan atau setidaknya meringankan beban yang ada dalam pikiran. Tetaplah berusaha, sebab tak ada yang tak mungkin.[]



[gambar diambil dari sini]
Repost from Facebook on October 5, 2010
*dalam rangka ikut sayembara berbagi cerita menghadapi si picky eater yang dislelenggarakan oleh susu merk P.

Comments