book review III: cerita-cerita di dunia Cinderella


Ada dua hal mengapa saya tak pernah sanggup menyelesaikan sebuah buku untuk dibaca. Pertama, karena buku itu terlalu “nyastro” alias kadar sastranya terlampau “keras” untuk seorang penikmat buku biasa seperti saya. Untuk poin pertama ini contohnya adalah Cala Ibi karya Nukila Amal. Sampai sekarang buku itu belum khatam. Kedua, sebaliknya, justru ketika kualitas buku itu terlalu “buruk” sehingga saya tak lagi sanggup membuka lembar per-lembar sampai akhir halaman. Untuk kali ini, sepertinya buku yang akan saya tinjau ini masuk poin yang kedua.

Saya takkan mau menyebut nama asli atau nama penanya. Ini saya lakukan hanya agar para penggemar tulisannya tidak merasa terintimidasi oleh tulisan saya ini. Bagaimana pun semua hal tidak pernah bebas nilai. Semua hal tak lepas dari subyektivitas. Namun, betapapun tidak obyektifnya saya, tulisan ini masih layak dinikmati. Hanya sebagai sebuah book review sederhana saja. Dan di sini, saya akan menyebut penulis perempuan ini sebagai Lady Gaga—terlepas dari identitas dirinya atau kemungkinan bahwa ia juga menyukai Lady Gaga. And here we go...

Buat saya, hanya ada dua jenis aliran besar dalam menulis fiksi: yang berbobot sastra tulen dan yang populer. Jangan tanya saya bagaimana klasifikasi sastra tulen, selain saya bukan kritikus sastra, saya pun tidak begitu paham cara mendeskripsikannya secara sastrawi. Nah, ketika saya mulai mendengar nama Lady Gaga makin masif diperbincangkan, saya penasaran. Seberapa baikkah tulisannya? And then I shocked from the first page...

Buku yang saya baca adalah buku pertamanya yang tebalnya 300 halaman dengan font mini dan dihiasi beberapa skesta buatannya sendiri. Jujur, saya pegal membacanya. Bukan hanya soal tulisannya yang kecil-kecil, tetapi juga alur ceritanya yang slow moving. Dia bercerita seperti format diary, buku harian. Day by day, kejadian demi kejadian. Mungkin dengan cara ini ia ingin “membius” pembaca agar terus setia sampai dasar buku. Tetapi bahkan subtansi ceritanya sendiri tidak menarik hasrat membaca saya.

Ia seolah-olah ingin membangun negeri khayalannya sendiri yang cenderung terlalu imajinatif atau artifisial. Bolehlah, jika ia menulis fiksi dan bahan utamanya adalah imajinasi. Namanya juga fiksi. Tapi dalam tulisannya ini, ia seakan-akan membuat batas eksklusifitas melalui pemilihan nama tokoh, deskripsi lingkungan atau tempat tinggal, gaya hidup, pilihan-pilihan sepele seperti hobi, hingga status sosial.

Ia mungkin ingin membuat sebuah cerita fantasi, tetapi unsur-unsur yang ia pilih justru adalah hal-hal yang ada dalam kehidupan nyata. Namun, yang nyata ini juga too good to be true. Tokoh-tokoh dalam buku ini dihidupkan sebagai bagian dari dinasti besar dengan status sosial teratas, dibanjiri popularitas, dan dikelilingi orang-orang yang “sejenis”, membuat garis eksklusif makin jelas dan tebal.

Hal ini juga muncul dalam usahanya mengammbarkan karakteristik fisik tokoh-tokohnya yang—selalu—flamboyan dan dingin (untuk tokoh lelaki) serta cantik dan beruntung (bagi tokoh perempuan). Buat saya, pesan cerita itu sungguh sulit diraih dan tidak “membumi”. Bagai hidup dalam cerita Cinderella yang sangat membuai bagi para remaja yang masih bermimpi didatangi pangeran tampan dan kaya.

Ketika saya mencoba membaca bukunya yang lain pun, setali tiga uang—sama saja. Sepertinya memang inilah spesialisasi tulisannya. Namun bagaimana pun, banyak juga para ABG yang mengapresiasi buku-bukunya dengan penuh kekaguman. Coba ketik namanya di seacrh engine bar, selain satu webpage pribadinya, ada banyak testimoni tentang buku-bukunya. Sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang ia hasilkan.

Bahkan saat ini ia menjadi kontributor tetap di sebuah majalah franchise internasional yang (cukup) terkenal. Menjadi produktif untuk jenis tulisan untuk remaja semacam ini jelas tidak mudah. Sebab, rangkaian proses menulis salah satunya dengan menciptakan mind set dan menuliskannya dengan baik. Dan Lady Gaga, ia tidak buruk dalam bertutur. Hanya saja, andai ia mampu menulis sesuatu yang lebih “tepat” dan “membumi”.[]


[gambar diambil dari sini]
Repost from Facebook on March 7, 2010

Comments