book review II: Tatyana dan ini-itunya rumah tangga

Bagi sebagian orang, hal-hal perkara rumah tangga mungkin dianggap sangat tidak menarik dan (mungkin) membosankan. Membahasnya saja enggan, apalagi berniat menulisnya. Namun, coba bacalah tulisan Tatyana. Ia mampu mengubah persepsi bahwa rumah tangga dan segala embel-embelnya yang (tadinya) membosankan menjadi sesuatu dengan perspektif yang lucu, menarik, dan bahkan membuat terenyuh. Bacalah kedua bukunya, “Jakarta Kafe” (selanjutnya disingkat JK) atau "Single Mom’s Day Out" (selanjutnya disingkat SMDO) , keduanya menjanjikan cerita-cerita tentang relasi manusia dalam pernikahan: masih dalam status pernikahan atau yang sudah tidak dalam ikatan itu lagi. Semuanya, sama segarnya.


Mungkin, semua orang tahu, soal ke-rumah tangga-an adalah ranah yang sensitif dan membutuhkan kedewasaan level tertentu untuk dapat memahaminya secara mendalam. Selain itu, secara sosial pintu pernikahan yang mengantarkan seseorang pada ranah rumah tangga, juga mewajibkan seseorang itu untuk bertanggung jawab: pada dirinya, pada istri/suami/anaknya, pada keluarga besarnya, juga bertanggung jawab secara sosial.

Rumit ya?

Kerumitan inilah yang tidak dipilih Tatyana sebagai fokus cerita pada kedua bukunya. Ia tetap memilih tema besar perkawinan dan tema-tema turunannya, seperti termasuk soal perceraian, perselingkuhan, konflik dalam rumah tangga atau kantor, gosip antar tetangga hingga hal-hal tentang single parent. Namun, jika ada penulis lain yang juga membidik perkawinan sebagai tema besarnya, saya kira Tatyana akan menuliskannya dengan lebih luwes.

Ia tidak seperti penulis perempuan lain yang dalam tulisannya seolah-olah berteriak-teriak demi feminisme dan hak-hak perempuan (baca: istri) sebagai manusia. Ia bahkan berdamai dengan segala kontroversi itu. Dan memang bukan itu yang ia gunakan sebagai angle dalam menyampaikan cerita-ceritanya. Ia menawarkan angle atau perspektif yang berbeda dari persepsi umum tentang rumah tangga.

Bahwa perkawinan atau kehidupan rumah tangga memiliki konflik tersendiri, itu benar. Tatyana pun mengamininya—dengan memilih persoalan tersebut. Tetapi pilihannya bercerita dan caranya bertutur yang singkat dan cenderung to the point menjadikan cerita-ceritanya bukan sebagai rentetan kalimat-kalimat yang menggurui, melainkan cara yang lurus, santai, dan tidak menonjol. Pilihan ini seakan-akan tidak seperti penulis lain yang selalu ingin menunjukkan betapa-cerdasnya-saya-sebagai-penulis dengan memperpanjang “durasi” dan memenuhi ruang tulisnya dengan berbagai informasi yang kadang-kadang justru tidak diperlukan.

Selain itu, Tatyana mengungkapkan ekspresi dengan cara yang sepatah-sepatah atau pendek-pendek saja. Cara yang sama juga ia tempuh untuk membangun dialog antar tokohnya. Sehingga keduanya—baik ekspresi akan situasi atau dialognya—dapat beriringan membentuk adegan yang diinginkan secara penuh dan tidak bertele-tele.

Pada dialognya, Tatyana berhasil membangun dialog yang senatural mungkin. Misalnya pada dialog tatap muka langsung atau dialog via telepon. Keduanya seakan-akan terbangun dari sebuah kejadian nyata yang berlangsung dengan natural: bagaimana para tokoh sedang berbincang, bertanya, menanggapi, bertanya lagi, berpikir, lalu merespon.

Pada JK, kita akan diajak menyimak kisah-kisah Tatyana yang begitu unik. JK merupakan kumpulan cerita yang setting atau latar belakang ceritanya berada di tempat-tempat untuk menikmati kopi atau sekedar “nongkrong” bersama teman, seperti di kafe, restoran, club, bahkan warung kopi. Entah setting keseluruhan cerita, sebagian besar, atau hanya sebagian kecil saja.

Sejauh rekam jejak saya dalam membaca buku-buku fiksi, JK adalah buku pertama yang begitu uniknya mengumpulkan beberapa cerita pendek dengan setting yang serupa. Sementara dalam SMDO, saya menemukan sesuatu yang lebih variatif. SMDO variasi cerita lebih banyak—mungkin karena lebih bisa mengeksplorasi cerita melalui berbagai setting cerita.

Secara garis besar tidak banyak perbedaan dengan JK: secara tematik sama saja. Namun mungkin perbedaan yang begitu kentara adalah cara bercerita lebih eksploratif di banding JK. Ada yang format ceritanya standar macam format prosa, ada yang pakai format prosa namun ada beberapa modifikasi, ada juga yang mirip format skrip panggung untuk teater, ada pula yang terlalu pendek untuk ukuran cerita pendek.


Tetapi di luar itu, kekuatan bercerita Tatyana—menurut saya—adalah pada cerdiknya ia dalam memformulasikan situasi, ekspresi dan persepsi dalam pikiran-pikiran sehingga menjadi sebuah teatrikal mungil yang hidup, natural dan spontan, meski hanya dengan deskripsi yang singkat dan pendek, semua menjadi sebuah cerita yang to the point. Dari kedua buku itu, Tatyana seolah-olah ingin mengajak semua orang untuk bersikap santai dalam menyikapi persoalan dalam rumah tangga. Hanya saja, karena buku itu terlampau tipis, sepertinya sikap santai itu juga hanya sebentar saja. ;P []


[gambar diambil dari sini]
Repost from Facebook on March 6, 2010

Comments

  1. http://www.gramediapustakautama.com/buku-detail/78639/Jakarta-Kafe#

    ReplyDelete

Post a Comment