Being Mom

 
Sejauh dua tahun saya menjadi ibu, saya selalu meyakinkan diri bahwa menjadi ibu adalah menyenangkan. Saya tidak menyatakan selalu menyenangkan, karena saya juga percaya setiap hal punya dua sisi: enak-tidak enak. Klise. Begitu pula tentang being mom (eh eh, saya jadi ingat judul skripsi saya), ada enaknya dan tentu ada juga pahitnya. Semua punya bagiannya masing-masing. Tapi bagaimana pun, saya tetap yakin, being mom is fun.

Keyakinan saya itu tidak ahistoris, sesuatu yang tiba-tiba ada tanpa cerita. Saya memulainya sesaat setelah bayi saya diangkat dari rahim yang disayat. Duh, semua pengalaman hidup paling manis hingga yang terpahit sekalipun lebur oleh satu momen: tangis bayi merah Fathiya. Saya takjub karena seorang makhluk seperti saya mampu memberi dunia seorang manusia mungil. Saya bahagia karena makhluk mungil yang selama ini kerap menendangi dan menyesaki perut lahir dengan selamat. Saya sedih karena ia menangis. Apapun itu, saya menangis.


Dari situ, tentu saja status saya secara de facto telah benar-benar menjadi ibu. Dan segala yang saya lakukan dan alami selanjutnya benar-benar mengubah hidup saya. Hidup saya seakan-akan mengalami turning point dua kali, singkatnya: jungkir-balik. Di awal tugas saya sebagai ibu baru, saya mengalami keletihan luar biasa. Tubuh saya harus melakukan adjustment secara fisiologis. Saya harus menggendong bayi setiap saat, menyusui yang pasti diakhiri dengan dehidrasi luar biasa, sleepless, hingga masa recovery pascaoperasi yang tidak optimal. Saya sempat stres, atau depresi barangkali. Namun, saya merasa kehadiran Fathiya bukan hanya membuat tubuh kurus dan remuk tiap malam. Ia selalu berhasil membuat saya belajar. Tapi satu hal yang betul-betul saya pelajari dari status baru ini: bagaimana menjadi benar-benar sabar.


Mengurus anak seorang diri membuat berat badan saya tiga kilo di bawah berat normal dalam waktu lima bulan. Tapi saya puas. Segala hal dalam kontrol saya sepenuhnya. Bangun tidur, minum susu, mandi, makan, jalan-jalan, makan kue, nonton tivi, tidur siang, main, hingga terlelap malam hari. Kepuasan saya adalah ketika saya menemani ia tumbuh dan menatap caranya belajar tentang dunia. Saya yakin tidak semua ibu mau memilih privilage ini. Memilih being stay at home mom dan berkutat dengan dunia yang konon kata para feminis domestik.


Secara perlahan saya terus belajar. Gurunya tentu saja Fathiya. Selain belajar sabar, saya belajar ikhlas. Ikhlas melepas mimpi yang mungkin memang bukan untuk saya. Ikhlas untuk tetap menjadi ibu yang baik untuknya. Buat saya, cukuplah Fathiya ada untuk saya. Untuk hidup saya. Saya tak perlu ngoyo menulis atau belajar bahasa Inggris atas nama aktualisasi diri. Semua masih bisa saya lakukan, tapi first thing first buat saya adalah menjadi bunda yang baik untuknya. Ukuran baik seperti apa? Hanya saya yang bisa membaca parameternya.


Semakin ia besar, ada ilmu lain yang masih ingin Fathiya bagi untuk saya: be grateful. Ilmu paling sederhana yang sering dilalaikan orang, termasuk saya. Guru saya itu mengajarkan pada saya bagaimana memilih agar bahagia. Apapun yang saya miliki takkan saya anggap berarti jika saya tidak mensyukurinya. Apapun. Bahkan hingga detail-detail pahit sekalipun. Kata seorang teman: syukuri apa yang masih bisa disyukuri. Kedengaran pasif dan pasrah memang, namun lebih baik daripada sudah susah tapi terus mengeluh. Buat saya, saya sangat bersyukur memiliki Fathiya yang sehat dan lucu. Ini cukup membantu saya dalam memahami karakter Fathiya dibanding dengan anak-anak lain.


Dan sejauh ini, saya sedang belajar manage emosi. Karena semakin besar, ia semakin “nakal”. Saya pun harus terus mengontrol emosi saya agar tidak membuat kondisi emosional Fathiya ikut labil. Karena ini pelajaran paling baru, saya masih mencari cara terbaik untuk merelease emosi agar berubah menjadi energi positif. Menjadi single fighter seperti saya memang sangat rentan menjadi gila. Berlebihan memang, tapi begitulah kurang lebihnya. Bayangkan saja bekerja dengan tugas monoton 24/7, dituntut untuk multitask, no Sunday no holiday, dan di sisi lain space untuk aktulaisasi diri terbatas hanya kegiatan arisan dan sebangsanya. See? Itulah sebabnya saya menyebut ibu rumah tangga sebagai pekerjaan dengan job desk terbanyak, life time working hours, dan too risky of being insane.


Beberapa hari ini saya bahkan merasa sebagai manusia paling hipokrit, munafik. Keyakinan yang selama ini masih saya percaya, seolah-oleh membohongi saya. Apa yang menyenangkan jika menjadi ibu melelahkan? Apa yang menyenangkan jika menjadi ibu hanya membuat depresi?


Setelah semua saya release dalam bentuk tangis, saya sadar saya manusia. Seberapapun menyenangkannya, saya pasti punya limit. Saya butuh jeda. My circle emotion is still moving. Pada titik inilah saya merasa saya harus dipahami, dimaklumi. Bagaimana pun juga, menjalani tugas ini tanpa mengeluh dalam jangka waktu yang relatif panjang adalah sebuah prestasi. Saya harus menjalani tugas ini dalam kontrak seumur hidup, dan ini pilihan saya. Keyakinan itu tetap ada, meski kondisi saya naik-turun: being mom is fun!

(note ini menjadi salah satu pemenang dalam "SAIL YOUR HOPE COMPETITION" yang diselengarakan oleh Bentang Pustaka.)[]


[image didapat dari sini]
Repost from Facebook on August 26, 2009


Comments