book review I: perkenalan dengan (tulisan-tulisan) Kembangmanggis

Saya belum pernah mendengar nama Kembangmanggis dalam ranah tulis-menulis sebelumnya. Sampai akhirnya suami saya membeli salah satu bukunya yang berjudul: Burung-burung Kecil. Buku itu kecil dan tipis dan merupakan pemenang lomba novelet FEMINA pada tahun 1990. Namun, saya agak heran juga, mengapa buku itu baru diterbitkan pada tahun 2002, ya? Tetapi di luar itu semua, saya punya kekaguman pada konsistensi berbahasa tulisnya yang menawan.

Beberapa karyanya
Burung-burung Kecil berkisah tentang dunia anak jalanan: baik di jalan ataupun di luar wilayah itu. Seorang anak jalanan yang menjadi sorot utama adalah Eges, yang sangat disayangi oleh sosok Ibu, seorang perempuan pemilik beberapa rumah asuh. Perjalanan hubungan antara tokoh Ibu dan anak-anak asuhnya mendominasi keseluruhan warna cerita. Oleh Ibu, anak-anak asuhnya itu ia umpamakan layaknya burung-burung kecil yang bebas.

Suatu waktu mereka ingin berhenti terbang dan hinggap sejenak. Namun tak lama mereka haus akan terbang kembali. Dan Ibu tak dapat mencegah mereka untuk tetap tinggal atau bahkan melarang mereka untuk tidak lagi terbang. Semua adalah pilihan hidup mereka. Bahkan ketika Ibu berusaha memberikan pilihan untuk hinggap pada hidup yang lebih baik dan teratur, burung-burung kecil yang terbiasa bebas itu harus membiasakan diri menjadi “anak baik” di dalam rumah.



Selain Burung-burung Kecil, saya juga sempat membaca karyanya yang lain, yang berjudul Tia. Buku tersebut saya temukan ketika saya pergi ke peminjaman buku dekat rumah. Merasa pernah membaca bukunya dan senang dengan caranya bertutur, saya pun memilihnya untuk membawanya pulang. Pada Tia, ekspektasi saya ternyata tidak salah. Atau minimal tidak terlampau jauh dari harapan. Tia bercerita tentang seorang gadis remaja bernama Tia yang sedang menjelajahi dimensi kehidupan lain yang bernama kedewasaan.

Semua orang di sekelilingnya menuntutnya untuk berhenti bersikap manja dan lebih bersikap dewasa. Makna kedewasaan yang ia dapat dari orang-orang disekelilingnya membuat ia semakin apatis, hingga akhirnya ia merasa dirinya jatuh cinta pada teman abangnya yang bernama Dion. Kelanjutan ceritanya kemudian adalah perasaan jatuh cinta yang membawa perubahan pada diri dan hidupnya.



Unsur intrinsik
Pada Burung-burung Kecil saya seakan-akan menemukan sosok seorang Ibu yang bertutur tentang kebandelan anak-anaknya. Ada banyak hal yang diungkapkan dengan sentuhan feminim dan keibuan. Hingga tokoh Ibu seolah-olah dihidupkan secara sempurna melalui perspektif yang lembut dan halus. Sementara pada Tia, saya seperti menemukan kembali kesegaran Lupus atau Olga. Ada banyak kemiripan di sana. Misalnya, pemilihan tokoh yang berusia remaja, rasa cerita yang begitu jenaka dan satir seperti anak remaja, dan nuansa yang begitu segar. Begitu penuh tawa.

Kedua buku tersebut ditulis dengan garis cerita yang linier, hingga keseluruhan jalan cerita terus berjalan maju hingga akhir. Meski monoton, namun cara berkisahnya tidak banyak unsur-unsur yang tidak perlu, seperti deskripsi tentang macam-macam hal yang kadang justru ingin ditonjolkan oleh penulis novel. Jika ditelanjangi, kedua buku ini sungguh polos dalam hal unsur intrinsik. Tidak ada modifikasi atau eksplorasi cara bertutur, pula tidak ada “pamer pengetahuan” secara jor-joran, bahkan fragmen cerita diputus dan kembali tersambung dengan bagian lain yang penting.

Hanya yang penting. Tetapi malah dengan cara yang sederhana itulah, substansi cerita menjadi sebuah paralel yang rapi dan enak dibaca. Bagi saya, cara berkisah macam ini sungguh jauh lebih baik daripada novel-novel tebal lain yang hanya fokus pada “pamer pengetahuan”, namun secara substansial cerita terkesan kebingungan dan tergopoh-gopoh.

Absennya deskripsi yang di luar cerita itu justru membuat keseluruhan cerita terkesan alami: apa adanya. Apa yang ingin diceritakan, hanya itulah yang ditulis. Sehingga tidak ada hal-hal yang tidak penting yang turut hadir dan “merusak” rasa cerita yang begitu polos. Selain itu, penulis betul-betul konsisten pada pembentukan karakter tokoh dan masing-masing peran di dalam cerita. Tak ada satu pun tokoh yang—katakanlah—hanya menjadi “cameo”: hadir sekelebat tanpa punya kontribusi signifikan pada arus cerita.

Semua tokoh—bahkan tokoh-tokoh pendukung—memiliki tugas yang jelas dalam cerita. Kapan tokoh harus muncul dan kapan ia harus duduk manis merupakan sebuah logika yang dibangun dengan baik supaya cerita tetap berada pada jalurnya. Sehingga saya pun tak menemukan keanehan seperti, kenapa tokoh A tiba-tiba tidak muncul lagi, padahal sebelumnya sorot cerita begitu terang benderang ada padanya. Semua tokoh memiliki porsinya masing-masing—yang tentu saja penting dalam mendukung jalan cerita.

Penanda jaman dan penulis perempuan: sebuah komparasi
Pada masanya Burung-burung Kecil dan Tia ditulis, merupakan masa di mana Lupus dan Olga sedang begitu disenangi. Mau diakui atau tidak, euforia Lupus ini tentu membawa hawa yang sama pada kedua buku ini—terutama Tia yang terbit pertama kali tahun 1985. Dengan semangat keremajaan, baik Lupus maupun Tia, memiliki banyak kemiripan. Misalnya: betapa bergengsinya menjadi seorang penyiar radio—meski hanya level radio kampus. Atau gengsi membawa motor bagi seorang pelajar SMA.

Begitu mudahnya menemui penanda jaman yang ada dalam kedua buku Kembangmanggis, apalagi jika mau membandingkan dengan penanda jaman yang ada pada novel-novel perempuan masa kini. Beberapa contoh di antaranya yaitu, absennya handphone dan internet, gagahnya anak SMU yang membawa motor atau mobil sendiri, dan kurangnya sense keperempuanan yang begitu kuat didapat oleh penulis perempuan kini. Tentang sense keperempuanan ini, mungkin saja saat itu belum ramai penulis perempuan yang menjadi “ekshibis” bagi dirinya sendiri.

Mungkin baru segelintir, seperti N.H Dini. Namun, N.H Dini tidak menulis dengan cara yang populer. Dan penulis perempuan yang model “eksploratif” baru-baru ini saja muncul secara masif. Entah dengan jalur yang populer (teenlit dan sebangsanya) atau yang agak classy (ditandai dengan kemunculan Saman atau Supernova). Semuanya secara masif bertutur mengenai perempuan dan tubuhnya: seks, kehamilan, pernikahan; juga tentang relasi personal dan konstelasi perubahan sosial di dalamnya: keluarga, pekerjaan, chatting, cyber sex, dan lain-lain.

Membaca Kembangmanggis dan mengingat novel penulis perempuan saat ini, seakan-akan ada sebuah kekosongan di antaranya. Bukan hendak melacak ruang kosong itu, namun meraba betapa telah banyak terjadi perubahan pada tradisi sastra—perempuan. Perubahan ini bagaimanapun juga merupakan penanda jaman yang kelak akan dibaca dan kembali dibaca sebagai sebuah renungan sastra.[]


[gambar diambil dari sini]

Repost from Facebook on March 1, 2010


Comments