Sekolah, Pekerjaan Rumah dan Tugas Orang Tua

Belum lama ini saya join grup BBM (BlackBerry Messenger) khusus orang tua murid di kelasnya Chiya. Informasi yang saya dapat antara lain info PR, kegiatan, dan pengumuman-pengumuman. Karena saya tidak bisa antar-jemput Chiya (selain itu saya bukan tipe ibu yang rela sebagian waktu digunakan hanya untuk nungguin anaknya sekolah), jujur saja saya merasa banyak terbantu karena join grup itu. Saya jadi update info terbaru, sampai keluhan-keluhan para ibu soal PR dan ulangan.

Sebagai informasi, Chiya tidak bersekolah di sekolah negeri. Kebijakan yang memprioritaskankan anak usia tujuh tahun untuk sekolah di sekolah negeri, membuat Chiya (yang kala itu masih enam setengah tahun) harus mencari sekolah swasta. Sekolah swastanya pun bukan sekolah yang mengadaptasi kurikulum internasional blablabla. Sekolah itu adalah milik yayasan institusi militer yang kami pilih karena dekat dengan rumah. Selain itu, sekolah ini hanya bergabung dengan TK saja. Tidak dengan jenjang SMP apalagi keroyokan dengan SMA.

Lalu, apa bagusnya sekolah itu?

Ya, itu tadi. Pertama, dekat dengan rumah. Kedua, sekolah itu hanya berbagi dengan TK. Ketiga, biayanya masih bisa kami tolerir untuk level sekolah dasar. Kurikulum dan lain-lain? Sama saja dengan sekolah lain. Bukan di mana sekolahnya yang penting, tapi bagaimana proses belajarnya yang harus tetap disupport. Sebab kami meyakini satu hal: pembelajaran yang paling hakiki tidak datang dari sekolah, apapun labelnya. Seorang anak akan berkembang bukan melulu karena sekolah. Kira-kira sampai kapan ya, kita akan mengasosiasikan pendidikan hanya dengan sekolah? 

Sejak masih di Jogja, Chiya sudah akrab dengan home schooling. Ah, saya sekarang lebih senang menyebutnya: belajar di rumah. Usia setahun lebih beberapa minggu, dia sudah pandai memegang pensil atau pulpen. Mencoret-coret dinding sambil blabbering segala macam. Rumah eyang di Jakarta (yang sekarang kami tempati) dindingnya penuh “mural” karyanya Chiya. Umur dua tahun sudah bisa berhitung dengan bahasa inggris dan hafal beberapa warna (juga dalam bahasa inggris). Saya tidak mengajarkan dia bicara dalam bahasa inggris, hanya mengenalkan beberapa basic english saja. Sebelum TK (dia tidak masuk playgroup) di usia empat setengah tahun, dia sudah bisa membaca meski terbata-bata. Pun berhitung matematika dasar. Saat TK, akhirnya kami mengetahui skor IQ dari psikotest di sekolahnya.

Sebagai informasi lagi, TK di mana Chiya sekolah selama dua tahun (sembari menunggu SD), bukan TK dengan bayaran jutaan rupiah. Lagi-lagi, sekolah ini dipilih karena dekat dengan rumah dan komitmen pemilik yayasan sekolah yang berbeda. Satu kelas diisi sekitar 20an anak dengan dua guru. Membandingkan dengan TK sebelah (sama-sama dekat dari rumah) yang satu kelas keroyokan 40an anak dan play ground yang hanya sepetak teras rumah di pinggiran Jakarta, kami tentu pilih TK ini.

Saya tidak mau membahas hasil. Atau prestasi, atau apalah. Karena kami sebagai orang tuanya sebetulnya tidak fokus pada itu, melainkan bagaimana anak ini bisa survive dengan kondisi sistem pendidikan bangsanya yang bobrok. Sudah banyak bukti nyata dan contoh riilnya. Dan kami, yang hanya bisa menjangkau pendidikan murah tentu tidak dapat menggantungkan nasib Chiya pada pendidikan mahal yang digaung-gaungkan bisa “menyelamatkan generasi untuk mejadi manusia global”. Bukan itu yang menjadi core value.

Jika kami tidak dapat meraih pendidikan mahal itu, apakah semestinya mengeluh?

Obrolan di BBM grup itu seolah-olah mengingatkan saya, betapa sebagian orang tua masih merasa bahwa mereka bukanlah titik penting dari proses pendidikan anak-anaknya. The school does. Ibu saya, yang juga guru di salah satu SD negeri favorit (dulu Standar Nasional), sering bercerita tentang dua-tiga anak didiknya yang masih belum lancar belajar. Beliau sudah bantu memberi les sepulang sekolah dan berbicara pada orang tua mereka agar dibantu belajar di rumah. Hasilnya? Nihil. Anak tetap tidak ada kemajuan dan orang tua seolah-olah merasa semua itu adalah beban guru di sekolah. Bahkan ada satu anak yang beberapa kali belum mandi dan sarapan ketika datang ke sekolah. Haruskah semua proses belajar dibebankan (hanya) kepada sekolah?

Pekerjaan rumah (PR) yang digarap oleh orang tua pun jadi isu klasik. Saya pun baru tahu. Di kelas Chiya, ada banyak ibu-ibu yang gemar mengerjakan PR anaknya pagi-pagi. Meski, sekolah sudah melarang keras orang tua untuk mengantar sampai kelas. Kebayang kan? Mengantar sampai kelas saja sudah dilarang, ini sampai garap PR anaknya segala. Saya sadar kok, kalau sekolah Chiya itu terlalu memberi beban kepada muridnya. Dalam sehari, bisa sampai dua-tiga mata pelajaran dengan masing-masing 5-10 nomor pertanyaan. Di antara PR itu bisa dipastikan ada satu mata pelajaran yang PR-nya harus disalin. Panjang kalimatnya tidak main-main. Kalimat yang pas untuk anak kelas satu SD adalah kalimat dengan maksimal lima kata di dalamnya, kata Ibu saya. Padahal, Ibu saya bahkan tak pernah memberi PR lebih dari lima nomor. Mereka masih butuh banyak waktu bermain, katanya memberi penjelasan.

PR yang bejibun ini tentu bukan alasan untuk lantas mengerjakan PR anak. Chiya tiap pulang sekolah lalu istirahat main-main sebentar, langsung mengerjakan PR di hari itu. Ini diterapkan justru agar ia tetap punya waktu untuk bermain. Malamnya, ia akan “les” untuk belajar pelajaran besok. Yang ini kesadaran dia sendiri. Ia akan bawa tas kecil, membopong buku-buku (yang bejibun itu) dan menenteng meja lipat ke ruang keluarga depan. Kalau sedang malas, ya sudah, kami juga tidak memaksa. Paling kami ajak baca-baca buku cerita atau main-main saja. Ia pernah berkata: bener sih kata Bunda, kalo siang ngerjain PR aku bisa santai-santai gitu. Ia tetap punya akses nonton tivi, dengan catatan PR sudah kelar, buku untuk besok sudah disiapkan dan tidak ada PR yang tertinggal.

Untuk sampai bisa memiliki kesadaran seperti itu, apakah mudah? Jelas tidak! Kami mengalami tarik-ulur juga, di mana Chiya memberontak dan malas-malasan. Saya juga bawel luar biasa untuk mengingatkan dia agar tetap fokus mengerjakan PR-nya. Oh ya, Chiya ini tipikal anak yang sulit fokus mengerjakan satu hal. Means: dia bisa tahu-tahu sudah asyik mainan dengan tempat pensilnya di saat sedang mengerjakan PR. Saya pikir semua anak pasti begitu. Mudah bosan. Tapi saya tidak serta merta mengambil alih pensilnya dan menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya (atas nama: biar cepat selesai). Sampai akhirnya PR itu tidak kunjung selesai sampai malam (karena ditunda-tunda terus). Ia kecapekan, ssementara PR harus tetap dikerjakan.

Buat saya, PR adalah sebentuk tanggung jawab “kecil” yang sampai kapanpun akan ditemui oleh mereka, anak-anak kita. Di balik itu tentu ada ganjaran dan hukuman. Jika tidak paham logika ini, kelak mereka mungkin tak mau tahu. Tidak ada yang mudah memang, hidup di belantara negeri ini. Bahkan menjadi orang tua kaya yang bisa menyekolahkan anak ke sekolah berbiaya mahal pun, bukan jaminan bahwa kita peduli pada proses pendidikan anak-anak ini. Yang bisa dilakukan ya, bergerak. Berkomitmen untuk peduli pada tiap prosesnya.[]