Cerpen gak-tau-mau-dikasih-judul-apa

Kayla
Ini sudah yang kesekian kalinya. Bram tak datang lagi. Kayla mencoba sabar. Ditariknya nafas perlahan dan membereskan tumpukan quotation. Di sini--di dalam dadanya--ada gemuruh badai nan hebat. Ia kecewa.

Bram
Bram terdiam. Ada yang salah, gumamnya. Ada yang salah pada hubungannya dengan istrinya. Namun entah kenapa, ia memilih untuk berhenti memikirkan Lusi, istrinya.

Bram-Lusi [dua bulan yang lalu]
"Kamu engga usah bersikap seolah-olah kamu ksatria, Bram!", Lusi membentaknya melalui telepon. Mereka bertengkar lagi. Berselisih paham lagi. Lusi begitu murka ketika Bram menyuruhnya mencari pekerjaan lain selain sebagai executive director di sebuah perusahaan marketing research. Sementara Lusi merasa posisinya saat ini adalah sebuah self achievement baginya. Sebab ia adalah seorang life achiever--setidaknya begitu yang dikatakan lembar hasil test IQ-nya dulu. Sementara Bram, ingin Lusi mulai memberi kelonggaran pada pekerjaannya. Pada kariernya. Bram merasa karier Lusi mulai mencekiknya.

Bram
Sore ini, Tat demam. Bram pontang-panting mencari kompres instan yang pernah dipakai Lusi untuk menangani Tatyana. Dalam remang kamar Tat, ia meraba meja, laci dan kolong meja lampu. Ia hampir saja merobohkan lampu meja kesayangan Tat. Entah mengapa ia merasa gugup sekali. Mbak Nah yang sedang menemani Tat ikut terkejut. Sudah ditelusurinya kamar Tat dalam remang, namun Bram tetap tidak menemui kompres itu. Bahkan di kotak P3K. Juga di laci kamarnya. Juga di mana-mana. Mbak Nah ikut panik. Ia hanya bisa menemani Tat yang berwajah kemerahan dan terus bergumam dalam tidurnya yang gelisah. Bram mengutuk absennya Lusi.

Kayla-Bram
Kayla menelpon Bram. Bram yang sedang panik hanya melirik ponselnya sebentar. Ia pusing, sedang konsentrasi untuk berkoordinasi dengan Mbak Nah. Dokter anak langganan Tat sudah tutup dan baru bisa melayani lagi besok pagi. Sementara ia tidak sabar. Bram menyuruh Mbak Nah memberi obat demam lagi, kalau-kalau Tat terbangun dan masih demam.
 Telpon lalu diangkat. "Hai, Bram. Ini aku, Kay. Rapat masih lama. Gimana Tat?", alih-alih menyapa, Kayla langsung menodong Bram dengan pertanyaan.
"Demam. Masih begini-begini aja." Bram melempar tubuhnya ke sofa dan mengurut-urut kedua alisnya.
"Nanti jemput saja kalau kamu mau."
"Sepertinya tidak." Bram menghela nafas. Ia melihat kamar Tat yang terbuka sedikit dan pendaran siluetnya membayang. Tat yang bergelut dalam selimut nan hangat. Seharusnya ibunya di sini, Bayu menggumam dalam hati.
"Baiklah. Tunggu ia pulang dan jaga Tat baik-baik ya."
Bram menutup teleponnya.

Bram-Lusi
Bram terjaga. Dua dini hari. Kepalanya pening melawan cahaya lampu yang bertubi-tubi merangsek indera penglihatannya. Ia lekas menengok Tat. Terhuyung menuju kamar Tat yang temaram. Demamnya sudah mulai turun, meski wajahnya masih kemerahan. Ia kecup pelan dahi Tat yang mendingin. Bram merasa jiwanya berada di tangan Tat. Seluruh jiwanya.
Mbak Nah ada di sebelahnya, tertidur juga. Lalu ia berjingkat menutup pintu. Sekelebat bayangan ada di ruang tamu, Lusi. Masih dengan baju kerjanya, tertidur di sofa. Membawa kompres instan dan sebotol obat yang masih dalam plastik. Terlambat, gumamnya dalam hati. Terlambat, Lusi.

Kayla
Kayla selalu kecewa ketika Bram tak lagi menjemput Lusi yang satu kantor dengannya. Sebab ia mendamba pernikahan Bram dengan Lusi lebih baik darinya--demi Tat. Namun, perlahan akhirnya Kayla tahu juga apa yang terjadi dalam pernikahan Bram. Lusi adalah perempuan muda yang masih sangat bergairah pada karier dan hidupnya. Ternyata ia enggan hamil (entah sampai kapan) dan enggan memilih pekerjaan dengan jam kerja yang  lebih manusiawi. Kayla amat paham bagaimana gaya hidup para executive director itu. Gaya hidup yang (dulu) amat Bram puja dan senangi.

Kayla-Bram
Kayla terkejut ketika Bram tiba-tiba hadir di rumahnya pagi itu. Sepagi ini.
"Bram? Kamu? Ngapain?" Kayla mengecek kalau-kalau Bram membawa Tat. Atau Lusi.
"Mau bicara sama kamu. Penting. Itu kalau kamu mau."
Kayla mengajaknya masuk. Apartemen kecil itu tidak berubah. Tidak banyak berubah. Bram baru menyadari ia sudah cukup lama tidak memasuki petak ruang mungil ini.
"Saya sudah bilang, Bram, kamu..."
Kayla tak sanggup menatap mata itu. Mata yang dulu membuatnya luluh dan mencair. Mata yang dulu selalu sanggup membuatnya bahagia seketika. Mata yang sama, yang dulu membuatnya berantakan. Diri dan hidupnya.
"Kay, dengar. Kamu adalah perempuan itu. Saya juga engga ngerti kenapa dulu kita gagal. Tapi akhirnya saya tahu, kamu yang terbaik."
Kayla menggeleng. "Tidak, Bram. Kamu dulu tidak pernah bilang itu pada saya. Sikap kamu pada Lusi adalah sikapmu dulu pada saya. Kamu engga berubah, Bram. Sudahlah."
Mereka terdiam. Mereka sadar bahwa dialog itu tidak akan berhasil. Bagi Bram, negosiasi untuk yang kesekian kalinya ini bakal begini-begini saja, tanpa progres yang berarti baginya. Bagi ia dan Kayla. Sementara untuk Kayla, bargain apapun tidak akan membuatnya kembali pada Bram. Sebab Bram kini sudah bersama Lusi, istri barunya. Dan ia yakin, ketika memilih untuk bersama Lusi, Bram sudah memikirkan masak-masak pilihan itu. Sebab apa yang ditempuh Bram adalah sebuah perceraian. Selesainya episode antara ia dan Bram. Dan mulainya babak baru sebuah hubungan lain di luar semesta mereka berdua.

Bram-Tatyana
“Ayah?” Tatyana berdiri di depan kamarnya. Sore itu ia sudah cukup sehat.
Bram yang sedang membereskan kopernya terhenti. “Ya, sayang?”
“Ayah jadi ke Bali?”
Bram mengangguk. “Iya jadi, sayang. Berangkatnya lusa, kok. Cuma dua hari kok, Tat. Hari Rabu ayah sudah pulang. Tat mau oleh-oleh apa?”
Tat terdiam. “Ayah, sebelum ayah pergi lagi, aku mau bilang sesuatu.”
Bram tahu apa yang dimaksud putri satu-satunya itu. Ditatapnya Tat dari tempatnya sekarang. Ia mematung, tak paham harus bagaimana. Anak perempuan itu mulai terisak. Jarak Tat dan dirinya sore itu menjadi jarak psikologis terjauh yang pernah ia alami.

Tatyana-Kayla-Bram
"Bun, aku mau sama Bunda aja ya...", Tat berkata lirih sambil menghambur dan memeluk Kayla yang baru saja masuk. Dua hari setelah pertemuan di apartemen, Bram memohon Kayla untuk datang ke rumahnya. Bram tahu, ini akan terjadi.
"Kenapa, sayang?"
Tat tidak menjawab, ia malah hampir menangis. Kayla mengelus kepala anak perempuan berusia lima tahun itu dan berdiri, menatap Bram.
"Bram... Saya..."
"Kay, Tatyana boleh tinggal sama kamu kalau dia mau. Seandainya belum mau kesini, tidak apa-apa. Saya ikhlas menungu sampai dia sendiri yang mau.  Mbak Nah, tolong siapkan barang-barang Tat dan bawa Tat ke kamar dulu."
Mbak Nah membujuk dengan sedikit berbisik. Tat menurut.
Kayla tertunduk. "Benar, tidak apa-apa?"
Bram mengangguk. "Saya mau selesaikan masalah saya sama Lusi. Tolong, kalau ada apa-apa, kamu tahu kemana harus menghubungi saya. Tolong jaga Tat. Saya sayang sama dia. Melebihi siapapun."
 
Habis itu, Kayla baru sadar bahwa itulah pertama kali ia melihat Bram menangis.

[Jakarta, 23 November 2011-00.20]