Susahnya jadi guru bagi anakku sendiri

Semalaman saya browsing segala sesuatu tentang homeschooling (selanjutnya disingkat HS). Dulu, waktu di Jogja, saya sudah pernah mencoba digging tentang tema ini. Tapi karena saya yakin bahwa dalam HS, parameter yang digunakan adalah anak kita sendiri, maka semua yang saya dapat hanya untuk second opinion saja. Satu-satunya yang mampu membaca parameter itu adalah orang tua si anak. Meski, dalam beberapa hal, sharing juga penting dalam proses evaluasi dalam pembelajaran.

Ketika kami masih di Jogja, semua terasa kondusif. Saya punya banyak waktu bersama Chiya dan kami sehari-hari di rumah hanya berdua saja. Repot, memang--tentu saja! Namun, saya bebas mengatur semuanya sesuai keinginan dan kemampuan saya. Saya bisa memasak dan menyetrika di hari ini. Tetapi saja juga bisa absen dari semua pekerjaan rumah, dan hanya fokus menemani Chiya bermain. Nah, pada masa-masa free itulah saya mencoba untuk menerapkan metode HS pada Chiya. Sebetulnya sekedar main-main saja. Tapi hasil dari main-main itu, waktu umur dua tahun, dia sudah bisa berhitung satu sampai sepuluh dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Meski masih hafalan dan menghitungnya masih suka melompat-lompat... Misalnya waktu main-main di dapur, ia suka berhitung sendiri: satu, tiga, enam... Hehe..

Di sini, di Jakarta, ada banyak kendala. Pertama, Chiya sudah punya banyak teman. Yang artinya: dia bisa lebih memilih bermain di luar daripada di rumah. Selain itu, ada eyang-eyangnya yang selalu siap "menampung" kebosanannya dengan jajan di luar. Fiuh... Kedua, pada umurnya sekarang, rasanya lebih sulit untuk menjadi guru untuknya. Apalagi Chiya punya sifat yang senang "menjadi orang lain". Maksudnya, jika sedang bermain, dia akan berganti-ganti peran dengan teman mainnya. Masalahnya, kalau sedang belajar dan diajari, dia senang untuk "mengajari balik" orang yang sedang jadi gurunya. Ribet deh!

Seperti yang sedang saya coba lagi belakangan ini. Aduh, anak itu... Diajari bikin angka empat, malah bikin bentuk spiral (mirip angka tiga tapi keterusan). Katanya, "aku bikin bunga aja ya, Bunda". Capek kaann??

Tapi seperti yang telah disampaikan pada berbagai webpage yang mengulas soal HS, konsistensi memang sangat dibutuhkan demi menjalankan metode ini. Dalam kasus saya, saya sebagai orang yang berperan sebagai "guru" Chiya, harus menguji kesabaran terhadap metode belajar yang berfokus pada eksplorasi cara belajar ini. Saya sebagai orang tua dan sekaligus guru Chiya, selain harus bisa membaca kemampuan belajarnya dan ketertarikan dirinya terhadap proses ini, juga jangan sampai memaksakan dirinya untuk terus fokus. Sebab esensi dari HS adalah fun learning. Tidak boleh ada paksaan. Tidak boleh ada kata "harus". Semua harus fleksibel, semua harus menyenangkan. Dan jika anak mulai bosan, tantangan berikutnya adalah: find another fun way to learn. Namanya juga metode pendidikan alternatif, jangan sampai cara yang digunakan sama atau mirip dengan metode pendidikan formal biasa, kan?

Begitulah, kadang, sebagai orang tua si anak itu sendiri, justru proses belajar menjadi lebih sulit. Sebab, kita sebagai orang tua sebetulnya paham kemampuan anak, dan si anak itu sendiri menganggap bahwa "guru" yang merupakan orang tuanya sendiri bisa dijadikan "tameng" untuk lebih santai atau meminta cara yang lebih longgar. Misalnya soal punishment, dan lain-lain. Kelak, saya ingin metode HS ini terus saya terapkan. Melalui bermain, melalui aktivitas kesehariannya, melalui cara yang lebih menyenangkan. Dan semoga, saya bisa konsisten dengan komitmen ini.

Semoga.

Comments