Gadis Pantai: membaca Pram dan membaca perempuan


Tidak banyak buku yang benar-benar saya senangi. Apalagi jika penulisnya laki-laki. No offense, tidak bermaksud seksis, tapi kenyataannya saya lebih cenderung suka tulisan-tulisan penulis perempuan. Dan penulis-penulis yang saya gemari itu standar saja, maksudnya, mereka adalah nama-nama yang kerap didengar dalam ranah sastra. Sebut saja: Dewi Lestari, Ayu Utami, atau Djenar.

Tapi bukan berati saya betul-betul menutup mata pada karya-karya penulis lelaki--meski jumlahnya tidak sebanyak penulis perempuan. Seperti banyak penikmat buku lain, saya suka membaca karya Pramoedya. Dan saya sampai saat ini belum pernah membaca tertraloginya. Haha! Saya agak susah membaca tulisan bagus seperti itu.

Tetralogi terlampau apik untuk seorang penikmat buku (sangat) biasa seperti saya. Saya sudah sering mendengar betapa Pram lihai membuat cerita yang berlatar sejarah Indonesia. Terutama dari suami saya--si kutu buku itu, hehe. Alih-alih tetap ingin "menikmati Pram", saya memilih buku-bukunya yang lain. Yang lebih tipis, tentu saja. ^_^

Lalu, bertemulah saya dengan Gadis Pantai. Yang kemudian menjadi salah satu buku yang buat saya sangat "feminis". Atau, sangat membakar semangat ke-perempuan-an. Buku itu betul-betul berhasil menggambarkan betapa aristokrasi kebudayaan Jawa sangat menindas perempuan (setidaknya dalam konteks waktu saat itu). Pram pun mendeskripsikan ketertindasan si Gadis Pantai tidak secara eksplisit, melainkan dengan cara yang cenderung metaforis.

Kemudian yang membuat saya merasa bahwa Pram memliki kesadaran gender yang cukup tinggi dan sensitif akan isu perempuan ini. Dari caranya bertutur dan memilih sebagai orang pertama sebagai angle cerita, tampaknya Pram paham betul bagaimana perihnya menjadi perempuan (baca: Gadis Pantai). Padahal, ia seorang lelaki, yang dalam paham feminisme dianggap sebagai counter bagi para perempuan.

Tetapi buktinya, selain Gadis Pantai (yang menurut saya paling kerasa sense ke-perempuan-annya), beliau juga menulis beberapa buku lain yang tokoh utamanya adalah perempuan. Misalnya Midah, si cantik bergigi emas, dan Larasati. Ini satu bukti bahwa Pram bukan penulis yang male oriented.

Buat saya, menemukan buku yang ditulis oleh laki-laki namun "wangi" perempuan (dalam arti: sadar gender), adalah menakjubkan. Sebab, sejauh saya membaca beberapa karya penulis lelaki, tidak banyak yang menunjukkan sense ke-perempuan-an yang kuat. Mungkin banyak penulis lelaki yang menjadikan isu ke-perempuan-an (baca: ketertindasan perempuan) sebagai tema besar.

Namun, bagaimana cerita itu dibangun untuk menumbuhkan kesadaran gender, tidaklah banyak. Bahkan jika ada, saya rasa tidak ada yang sanggup menandingi keberhasilan Pram "menghidupkan" Gadis Pantai. Berhasil menghidupkan dari sisi cerita, konstruksi latar cerita, hingga yang sisi paling dalam: sisi humanisnya.

Saya rasa, tidak ada. Atau belum? Entah.[]

Comments