Catatan Di Sebuah Pagi yang Terik

 Kalian pernah dengar kalimat ini gak:

"Orang baik untuk orang baik."

Lalu, kalian percaya dengan kalimat itu? Ya, mungkin tergantung, ya. Kalau kalian sedang merasa baik-baik saja, kalimat itu bisa saja terasa sangat relate. Sementara kalau lagi gak baik-baik aja, kalimat apapun (well, bahkan kalimat motivasional sekalipun) akan terasa bullshit, ya. :))

Aku sendiri percaya kalimat itu (tapi tidak sedang baik-baik saja, sih :))).

Tapi, bagiku, mungkin konteksnya tidak melulu "orang". Person. It could be anything.

Kerjaan. Rejeki. Lingkungan. Relasi dengan orang tua atau orang lain. Koneksi. Cita-cita. Whatever you named it.

Beberapa hari yang lalu, aku melalui satu hari berat di mana aku rasanya ingin marah. Banget. Tapi gak bisa. Satu, lagi puasa (HAHAH, nga bole mara-mara apalagi menangys, bosque!). Kedua, I don't think I had quite much energy to raging on everything. Energiku dua hari sebelumnya itu sudah kudedikasikan untuk qerja qerja qerja bagaikan quda.

Marah, buatku adalah sebuah aktivitas yang membuang banyak sekali energi. Pun, gak semua masalah bisa selesai dengan amarah. Sering kalinya malah membuat masalah baru, sih. Masalahnya gak kelar, tapi menyulut orang lain jadi ikutan marah. :))

Tapi... yang sedang kuhadapi kali ini betul-betul beda. 

Bayangin kamu dalam situasi ini:

Kamu sedang berupaya bertahan setelah kerampokan dan hampir kehilangan segalanya. Kamu hampir gila. Kamu berusaha bangkit sendirian sembari menata hidup kembali. You didn't expect anyone to notice your struggle because you just want to survived. That's all. Tapi ternyata situasinya tambah buruk.

Tetiba ada orang yang datang dan bilang bahwa kerusakan yang kamu alami itu adalah salahmu dan kamu adalah satu-satunya orang yang bertanggungjawab untuk memperbaikinya.

WOW. W. O. W.

:))

Kalo kata anak Twitter, mah: rasanya, kayak ikan hiu makan tomat :))

Begitulah. Dua hari kuhabiskan menyimpan energi yang kupakai untuk tetap bekerja--sementara di dalam sini *nunjuk dada* gemuruhnya tetep berasa. Apalagi pas ada temen yang bilang: kamu gak papa, Nggie? 

AMBYAAAARRRR, BOOOSS :))

Tambah banjir waktu dibilang: kamu kuat banget. BHAHAHAHAHA *crying in Sweden, French, Spanish, etc

NO, I AM NOT :))

Oh, korelasinya sama kalimat di atas adalah: ya gitu, kadang Tuhan ga melulu mewujudkan SEMUA harapan kamu. Tapi aku rasa Dia tetap hadir di hal-hal di hidupmu yang bisa kamu syukuri. Dan ya, percayalah:

Hal-hal baik akan selalu berpulang pada yang baik-baik pula.

*brb crying (again, sist?)

Sejujurnya, rasanya bullshit banget untuk masih mau percaya kalimat macam itu. Tapi suatu pagi di mana aku sedang beli kopi susu untuk teman kerja pagi ini, Abang Gojek-nya bilang: Mbak, kok tip-nya banyak banget?

Astaga :(

Secara nominal, ia setara harga satu cup kopi susuku. Aku gak paham apakah nilai itu besar untuk sebuah tip atau engga. But see, how he said it. How he felt so grateful about it.

Aku tentu saja otomatis mewek lah, ya. Jebol sudah pertahananku sejak pagi, hahahah.

Aku gak sedang bilang bahwa yang kuberikan ke Abang Gojek itu "sedikit". Bukan. Tapi momen tadi membuatku sadar bahwa rejeki ini, apa yang kupunya saat ini, mungkin adalah hal yang aku perjuangkan, hal yang menjadi ikhtiarku sejak lama.

Aku mungkin gak diberikan hal baik berupa "rumah yang aman dari maling" tadi. Atau dijauhkan dari orang yang komentar soal "tanggung jawab" tadi.

Mungkin, betapapun aku berdoa, meminta, dan berharap, Ia gak akan mewujudkan itu untukku. Gak peduli betapa sudah berupaya baiknya aku.

Tapi Ia memberikanku dalam wujud yang lain. Rejeki. Untuk kubagi. Untuk kupakai memberdayakan diri. Untuk membantu yang lain. :)

I might feel worthless in some point, but still, I feel grateful for what I have now.

I think I need longer time to come back stronger. It's okay. :)

Oh, by the way, I want to share a song (play?) which I repeatedly listen to few days back then. This is so calming and beautifully played.[]



Comments