Abah dan Yudi
Stasiun Kalibata malam itu telah basah. Berbeda ketika ia baru naik dari Sudirman tadi, baru mendung bergantung.
[Tukang makanan sudah tiba.] Pesan pendek dari Abah hadir
menyambutnya yang sedang berjalan keluar
stasiun.
[Abah makan duluan aja. Yudi baru turun stasiun ini.] Ia membalas sembari berjalan pelan.
[Abah masih mau isya dulu, kok.]
Sama seperti dua malam sebelumnya, Abahnya berkenan menantinya
pulang dan makan bersama. Abah sempat menawarkan diri untuk memasak untuknya,
tapi tak ada supermarket yang menjual bahan masakan mentah di apartemennya. Apalagi pasar terdekat.
"Abah masih bisa bikin ikan goreng, Yud", selorohnya
ketika hari itu ia baru saja sampai. "Yah, walau mungkin tidak seenak
punya Umi." Abah kemudian terkekeh.
Setelah Umi wafat tahun 2014 lalu, Abah tinggal bersama Mbak
Ratih, kakak tertuanya yang rumahnya tak terlalu jauh dari makan Umi.
Rumah dan kebun Abah segera dijual, sebab Abah tak ingin
menempati rumah itu sendirian. "Abah gak mau lah ngelangut sendirian", ujarnya ketika anak-anaknya tahu Abah
ingin melepas rumah dan kebunnya pada Koh Arya, pengusaha keturunan Tionghoa.
Waktu itu ia masih berjuang menyelesaikan kuliahnya di
Surabaya. Saat lulus, ia bertekad langsung ingin bekerja dan tinggal sendiri.
Kabul, ia hanya menganggur dua bulan. Pekerjaan pertamanya adalah impian
sebagian para lulusan baru: pegawai BUMN.
Dua tahun berselang, ia menikahi seorang perempuan yang ia
temui di kantor cabang daerah Bandung. Setelah memiliki seorang anak laki-laki
berusia dua tahun, bulan lalu mereka resmi berpisah. Anaknya tentu dibawa sang
ibu.
Abah memutuskan berkunjung ke apartemennya setelah Yudi
memastikan ia sedang tak ada dinas luar minggu itu.
"Abah jangan kelamaan di sini", ujar Mbak Ratih
beberapa saat sebelum ia menyusul Mas Pur, suaminya, masuk ke dalam mobil.
"Yudi kan sibuk, Bah. Minggu depan kami jemput, ya. Kalau mau lebih cepat,
telepon saja."
Yudi tak keberatan Abah menyambangi dan menginap di
apartemennya. Walau tipe studio, ia punya satu sofa bed yang jadi sangat
berguna ketika ada temannya berkunjung atau seperti saat Abah menginap begini.
Kikuk, tentu saja. Ia satu-satunya anak yang relasinya tak
begitu hangat dengan kedua orangtuanya. SMA dan kuliah di Surabaya pun itu
dirinya yang memaksa. Entah, berjarak dengan orangtuanya adalah hal baik bagi
dirinya.
Hingga kemudian Umi wafat setelah tangguh bertahan berjuang
dari kanker yang keras kepala. Yudi
sempat merasa kosong. Tapi ia tetap memiliki sepasang mata yang paling kering
dibanding kakak dan adiknya.
Saat ia sampai, meja makan telah rapi, siap dipakai untuk
makan bersama. "Kamu beli apa ini namanya? Mie ayam?"
"Ramen, Bah. Iya, mirip mie rebus gitulah. Enak kan
anget-anget."
"Ah, enak yang kemarin, Yud. Apa itu namanya? Ayam
geprek, ya? Enak itu." Abah sibuk mengaduk-aduk ramennya.
"Besok mau ayam geprek lagi, Bah?"
"Ah, Abah mungkin besok pulang, Yud."
"Loh. Katanya mau nunggu dijemput Mbak Ratih sama Mas
Pur?"
"Enggak lah, gak apa-apa."
Bunyi dengkur halus kulkas mengisi jarak yang kosong di antara
Yudi dan Abah. Jika ingin betul-betul membongkar kenangan, mereka memang belum
pernah berbagi meja berdua saja seperti itu.
"Yud, Abah ingin tahu. Gimana rasanya peduli pada negara
tapi tak peduli pada keluarga sendiri?"
Yudi tahu Abah sedang tak ingin berkelakar. Ia menarik nafas
dan menyandarkan punggungnya pada kursi makan.[]
Posted on Instagram on 20 Jan 2020.
Comments
Post a Comment