It's About How You Rise Again


The one who taught me to always rise again.

Gue ngerasa kadang dalam hidup ada masa di mana gue pengen banget punya kehidupan kayak rangorang di luar sana. Hidup yang…intinya sih bukan kayak apa yang gue punya sekarang, misalnya. Ngerasa hidup orang laen terlihat lebih enak, lebih baik, lebih nyaman.

Kenapa?
Sebab biasanya saat itu gue ngerasa hidup gue lagi “di bawah”. Semacam lagi pait, gitulah. Bahkan kadang, gue ngerasa diri gue lagi “ujian kenaikan kelas”. Makanya, segala yang gue lihat di luar diri gue seolah-olah lebih enak.

Pernah kayak gitu kan?

Well, I was thinking that way until several life lessons brought me to a new perspective.
Bahwa: hidup enaklah yang justru ujian. Sementara hidup yang kerap kita sebut sebagai “ujian” itu adalah pembelajaran.

Kok bisa?

Anggaplah gue ini pegawai baru. Di awal masa penyesuaian gue mencoba untuk fit in, no matter what. Bos kejam, teman oportunis, jam lembur pait, perjalanan pergi-pulang yang sumpek dan sebagainya. Buat gue, itu mungkin adalah fase “pait” yang sebetulnya adalah ruang buat belajar. Gue belom sampe pada level zona nyaman. Gaji masih new entry, status juga blom pegawai tetap, misalnya. But you know what, this is a time for me to learn about a lot of things. Keep on reading to see what I mean.

Setelah sekian lama, gue akhirnya bisa sampe pada level supervisor. Gaji udah enak, kerjaan dibantu beberapa bawahan, rumah-mobil-investasi aman, liburan ke luar negeri sesekali. Pokoknya udah ukuran “hidup enak”-nya banyak orang lah. Apakah beneran enak? Trus apakah itu artinya gue udah puas? Biasanya ketika hidup mulai mapan, segala hal yang ingin diperjuangkan dari jaman kemarau kemudian malah kita abaikan. Lengah karena buaian.

Mungkin ada sesuatu yang seharusnya diperjuangkan, namun tidak diperjuangkan. Dan justru sibuk mengeluh.

You might say that it’s so human that I never get satisfy for anything I have. Well, it is. Tapi justru naluri ga pernah puas itulah yang ujian sesungguhnya. Mana ada manusia yang mau naik kelas tanpa ujian? Sementara, cara manusia melampaui ujian itu hanyalah dengan belajar. Di sinilah masalahnya. Manusia kadang sudah lulus ujian namun tak benar-benar belajar. Jadi yang akhirnya dia jalani adalah hidup dengan kesalahan yang itu-itu saja.

Gue mungkin sedikit-banyak pakai analogi sekolah. Tuhan jadi gurunya, manusia muridnya dan sekolah adalah semesta. Saat hidup lagi banyak cobaan, ya mungkin itu mirip waktu sedang masa belajar reguler. Dalam satu hari ada banyak mata pelajaran dan tugas untuk diselesaikan. Macem ga ada habisnya. Penat, sumpek, jenuh, pengen libur, pengen jajan di kantin, pengen nonton. Sementara dalam diri, sering ngerasa sendiri. Ya emang sendiri, sih. Kita datang ke dunia sendiri dan kelak akan menuntaskan kisah hidup juga sendiri. Tapi yang pasti, sebetulnya sang guru selalu ada menemani. Hanya saja kita tenggelam pada kesusahannya semata.

Sementara ketika masa ujian, sejatinya adalah masa di atas angin. Sebab waktu kita berjibaku dengan lembar ujian lebih singkat dibandingkan saat belajar. Pun, dalam satu hari tak lebih dari dua mata pelajaran yang diujikan. Pulang pun jadi lebih cepat, bukan? Apalagi cuma berlangsung kurang dari seminggu. Sang guru ada di kelas tapi tidak terlalu intens mendampingi. Ia hanya mengamati saja dari jauh. Mau nyontek, pasti ada kesempatan. Gimana mental (iman) muridnya aja.

That’s why I started to think that good days are always a threat for me. Periode girang-girang gitu juga ga pernah lama. Seandainya lama pun ya tetep berasa sebentar. Naluri ga pernah puas, ya. Bahkan gue sampe mikir: udah, gini aja, gue ga butuh hidup enak, cukup gini aja. Apakah itu artinya gue ga pernah iri sama hidup orang? YA KALI. Masih banget lah.

Sejak 2016 gue pengen bangetbalik ngantor dan pegang gaji sendiri. Gue pengen solo travelling. Gue pengen juga jadi contributor writer. Semua itu bikin gue iri sama orang-orang yang punya kehidupan seperti yang gue mau. Tapi bedanya, gue udah ga pernah terlalu larut berkutat sama perasaan itu.  

Once that feelings came, I try to over come with swtich back everything: what if’s. 

"Kalo gue kerja, emang gue ga kangen kruntelan sama anak? Emang gue bisa percaya sama yang ngasuh? Emang gue legowo pergi kerja dan melihat bagaimana anak-anak gue tumbuh tidak bersama ibunya? Emang gue bisa dipastikan bahagia dengan punya gaji sendiri?"

Di mata gue mungkin orang lain terlihat bahagia, padahal ya dia juga punya battle field-nya sendiri. Mungkin dia adalah lajang yang sedang menempuh master di Eropa sana, yang sejatinya ternyata pengen punya pasangan supaya perjuangannya didukung dan tumbuh bersama. Dan proses penerimaan diri ini kadang memang ga gampang. 

Gue sih mencoba apapun yang bisa bantu gue menerima apa yang gue punya saat ini. Ya kalo misalnya suatu hari keinginan gue kerja di Bandung tercapai, ya, gue bakal over come juga dengan cara yang sama. The most important is self acceptance! Gue udah ga peduli, nih, sama opini (negatif) orang laen. Mau bahagia itu harus keras kepala, Jenderal! Dan ga ada, sekali lagi: GA ADA, orang yang peduli soal kebahagiaan untuk kita selain diri kita sendiri. Ya, kan?

Gue masih struggle dengan banyak hal di diri gue. Gue adalah ibu dengan semilyar flaws, segudang kebusukan diri. Gue juga sadar gue belom berhasil mengupayakan mimpi-mimpi gue terwujud. Gue kadang nge-blank di tengah riuhnya anak-anak gue teriak-teriak. Gue masih sering nangis di kamar mandi—ya, di kamar sendiri juga, sih, haha. Gue blom bisa membayangkan bangun tidur sebagai manusia soliter—because busy is my nature for now. Gue pengen sering ngobrol tentang hidup, tentang mimpi, tentang masa depan yang gue mau (bukan dengan anak bayi apalagi bis Tayo).

But then, I love my life no matter how broke it is. No matter how bored I am. I feel blessed whenever I realized I had survived.[]