Rantai di Kaki

"Jadi yang namanya komunitas sosialis itu, seperti yang sudah-sudah..."

Diskusi yang baru saja dimulai berlangsung ramai. Seseorang bertanya dan seorang lagi yang duduk jauh dari pembicara menimpali. Aku membuang pandangan ke luar sana, di mana sinar mentari masih gagah di pukul tiga sore ini. Musim panas hadir kembali. Kemarin Bapak menelpon dan bilang sebagian sawahnya mulai digerogoti hama jenis baru. Padi yang sekarat karena hama adalah biasa, namun bagaimana Bapak berjuang untuk menyelamatkan hamanya itu yang jadi persoalan. Ibu jelas tak bisa membantu lagi. Sementara yang mereka punya di kota ini hanya aku dan adikku. 

"Mbak, sego kuning e siji." Aku tersentak. Di dalam semua tertawa riuh sekali. Aku berjualan makanan secara ilegal; tidak berijin pada pihak fakultas dan keliling saja sesuka hati. Tiap hari yang kubawa ada sekitar lima puluh jenis kue basah dan makanan yang kubeli dari pasar pagi. Tiap jenis makanan memberi laba antara 500 sampai 1500 rupiah. Jarang sekali aku bisa pulang ke kos dengan tangan melenggang, apalagi musim cerah seperti ini. Mahasiswa memilih ke kantin atau pergi ke warung makan dengan sepeda motornya. Musim hujan aku bisa lebih sering menjual habis daganganku, sebab para mahasiswa enggan pergi dari kampus kala hujan. Walau ada juga sebagian yang memilih titip beli makanan pada jasa ojek berjaket hijau.

Diskusi masih riuh, sebagian dari mereka keluar untuk merokok dan kemudian masuk lagi. Tak hanya laki-laki, ada beberapa perempuan juga yang merokok. Dari tiga fakultas yang aku datangi untuk berdagang, aku lebih suka kemari. Ada satu pojokan di dekat toilet yang bisa aku pakai sebagai tempat menaruh daganganku. Tentu aku tak menggelar semua daganganku, namun dengan meja lipat kecil yang selalu kubawa itu, aku taruh sebagian makanan di situ. Hanya supaya mereka tahu aku jualan makanan. Jika mereka mendekat, baru aku tawarkan jenis makanan lain yang masih ada di plastik. Sebagian yang sudah kerap membeli pasti tahu apa saja yang kujual.

Mereka yang ada di luar ruangan ini merokok sembari membahas banyak hal. Kadang satu-dua lalu mendatangiku membeli sesuatu untuk dikunyah. Kuliahku bukan di sini, tapi di sebuah politeknik kesehatan, di selatan kota. Subuh hari, aku pergi ke pasar pagi untuk belanja kue. Pulang dari pasar, aku siapkan sarapan untukku dan adikku yang seringnya adalah nasi kuning yang kubeli dari pasar pagi. Jika sudah sangat bosan dengan itu, aku beli bubur kacang hijau. Kos yang kami tempati adalah sebuah kamar di samping sebuah rumah yang besarnya hanya cukup untuk sebuah kasur tipis, meja belajar, sebuah lemari plastik dan satu meja agak bsar di pojokan. Setelah siap, aku antar adikku ke sekolahnya. Ia masih kelas dua SD di sebuah sekolah kecil berjarak cukup dekat dengan kos. Siang nanti ia akan pulang dengan berjalan kaki sendiri.

Aku menatap empat bungkus roti kecil dan lima bungkus kerupuk yang ada di atas meja lipat. Nafasku makin berat saat sadar itu belum apa-apa dibanding dengan yang ada di dalam plastik hitam. Sementara hari semakin sore. Seharusnya sekitar satu jam lagi aku pulang untuk mengajar ngaji di dua rumah dekat kos. Tapi jualan masih banyak begini...

Orang tuaku tentu sudah tak dapat mengurus adikku. Bapak sudah terlalu sibuk dengan Ibu dan menggarap sawah milik Pak Camat. Mbak dan Masku kembali jika lebaran tiba bersama keluarganya masing-masing. Mbakku yang sulung sudah bercerai dari suaminya yang punya banyak hutang dan main perempuan. Ia saat ini bekerja di sebuah salon dan menjadi buruh cuci di Bali. Anaknya ada dua, semua ikut dirinya ketika bekerja. Masku adalah seorang karyawan kantor kredit kendaraan bermotor di Lampung. Isterinya seorang guru les di sebuah lembaga belajar. Darinya, aku menerima sedikit uang untuk aku dan adikku. Ia juga yang mengurus biaya hidup orang tuaku.

Tahun depan, kuliahku selesai. Tapi aku masih harus mengurusi adikku. Kemungkinan kami akan kembali ke kampung supaya aku dapat membantu Bapak. Apalagi rasanya Ibu sangat butuh dibantu di rumah.

Aku masukkan sisa daganganku ke dalam plastik hitam dan merapikan meja lipat seraya menentengnya pulang. Setidaknya malam ini aku dan adikku tak kelaparan.[]