Catatan Penanda Pagi

Aku membayangkan hidupku sebagai seorang perempuan dan ibu rumah tangga yang kesehariannya sibuk dengan banyak hal. Sibuk dengan pesanan kue-kue lezat, sibuk mengantar anak-anak sekolah, sibuk memasak untuk mereka. Saat petang, aku sibuk dengan kehangatan antara ibu dan anak-anaknya.

Di akhir pekan, kami akan pergi menghabiskan waktu bersama. Mungkin juga jajan es krim favorit. Atau membeli seiris cake cokelat yang sebetulnya bisa kubuat sendiri.

Pada liburan yang agak panjang, kami akan mengunjungi saudara-saudara yang rumahnya cukup jauh. Tentu kami juga akan menginap di rumah Eyang untuk satu-dua malam dan merasakan masakan Eyang Putri yang selalu kami tunggu. Semua bergembira. Malamnya semarak suara anak-anak mereda. Tubuh-tubuh mungil itu mendekap Eyangnya mesra.

Ada satu momen yang sangat kami nantikan di antara hari-hari selama satu tahun: Idul Fitri. Selama sebulan, hidupku akan jauh lebih sibuk. Aku akan bangun di sepertiga malam dan memasak sahur untuk kami semua. Piring dan sendok berdenting di antara sunyi dini hari dan jangkrik yang bingung apakah ini sudah pagi.

Wajah-wajah penuh kantuk itu tak lama akan kekenyangan. Terkulai di sofa dengan bantal besar sembari menunggu azan subuh. Langit pagi benderang namun sunyi. Sesekali suara pengocok kue terdengar dari dapur. Aroma mentega dan gula mengudara.

Jelang Ashar, dapur kembali berkecipak. Nasi mulai dimasak, sayur disiapkan, buah-buah segar dicuci dan dipotong. Makanan pencuci mulut jadi hidangan utama. Kami akan menanti azan bersama.

Mungkin aku tetap sibuk menata gelas untuk diisi teh manis. Sibuk menyuguhkan kurma yang hampir lupa disajikan. Sibuk meletakkan kembali tahu isi ke dalam piring karena tersenggol si bungsu yang bercanda dengan kakaknya.

Pada malam takbiran, aku membayangkan sibuk menata kue kering untuk ditata di atas meja. Lalu menyetrika baju-baju baru mereka. Berteriak dari dalam rumah agar jauh-jauh dari petasan dan jangan pulang terlalu malam. Hanya ada aku, tapi seisi rumah riuh suara takbir dan aku merasa lebih dari sekadar ditemani.

Selesai shalat Ied, kami akan menghabiskan hari di rumah Eyang. Menerima tamu, membantu menyeduh teh dan kopi, mengiris ketupat, mengelap piring. Lalu mereka yang kelelahan tak ingin pulang. Menginap satu malam takkan menyakitkan. Apalagi semalaman aku habiskan berbincang dengan mereka yang telah memeliharaku sedari benih. Obrolan yang sebetulnya itu-itu saja, mulut yang tak hentinya menguap lalu kembali mengunyah akar kelapa sembari mengusap kepala dia yang terlelap di pangkuanku.

Rumah kami itu bisa jadi mungil, namun cukup luas menampung segenap hati dan cinta mereka. Kami hanya memiliki barang-barang seadanya, sepeda ala kadarnya. Kami selalu membeli es krim yang lewat tiap hari Sabtu siang. Membiarkan mereka main bersama hujan di teras dan menjerang air untuk mandi.

---
Waktu yang tak pernah cukup itu membuktikan padaku bahwa selalu ada cinta yang adil bagi semua. Bahwa hidup selalu miliki irisan-irisan memesona. Bahwa luka, bagaimanapun, kelak menyampaikan semua makna tanpa cela.

Mungkin aku memang tak sempurna memaksakan peranku dalam sebuah drama mayapada. Berusaha menganggit iman terbaikku untuk Tuhan, tapi ternyata bukan begitu caranya. Dan tak pernah kutemukan cara terbaik-Nya. Kecuali meminta.

Meminta dikuatkan. Meminta diberkahi seluruh nikmat Ilahi. Meminta menjadikanku pusat semesta bagi bilik jantungku yang lain.

Sebab permohonan dan doa adalah kunci eksistensi-Nya yang paling hakiki.[]

~Kalangan, 25 Desember 2017, 23:42 PM