Aku dan Dunia Senyapku
Jika orang lain tak bisa hidup tanpa hal-hal seperti ponsel pintar miliknya atau benda-benda memorable dari masa kecil, maka aku tak bisa hidup tanpa hearing aid. Iya, alat bantu dengar.
Aku yakin belum banyak orang dari masa laluku yang—selain
telah jauh berjarak dan jauh dari kabar—tak mengetahui bahwa kini aku adalah
seorang pengguna alat bantu dengar. Aku mulai menggunakan hearing aid sejak tahun 2016, setahun setelah memutuskan mencoba
jalan medikasi untuk gangguan pendengaran yang aku alami.
Kala itu, aku yakin bahwa pengobatan medis takkan
mengubah apapun. Aku merasa aku lebih membutuhkan alat bantu dengar. Ini
bukanlah “penyakit” yang butuh diobati, melainkan kerusakan yang butuh
ditangani atau diperbaiki.
Jauh sebelum itu, hal yang mungkin dapat aku tunjuk
sebagai “kambing hitam” adalah radang tenggorokan yang menyerang dalam satu
tahun secara intens medio 2010. Efeknya tidak kurasakan di tahun berikutnya,
namun beberapa tahun setelahnya. Hingga pada suatu petang, ketika aku sedang
mandi sore, aku menyadari aku tak lagi mampu mendengar suara azan magrib dari
dalam kamar mandi.
Radang tenggorokan yang aku alami memiliki intensitas after effect yang cukup lama hingga
akhirnya betul-betul sembuh. Diawali dengan demam, sore throat yang bisa sampai mengeluarkan darah, lalu batuk kering
yang menyiksa, semua bisa berlangsung hingga satu bulan lamanya sampai tak ada
satupun “uhuk-uhuk” ketika tidur.
Pada periode itu, aku bisa kembali terkena radang tak
lama setelah sembuh. Jadi bayangkan, aku seolah-olah tak putus sakit radang
dari bulan ke bulan. Let alone the
antibiotics I had to swallow during the treatment.
Ketika sakit pun, aku sendiri merasakan telingaku
kerap tersumbat atau bindeng. Mirip
waktu telinga kita kemasukan air setelah berenang. Efek ini kadang berlangsung
cukup lama. Hingga akhirnya, aku merasa terbiasa dan ternyata tak bisa kembali
normal.
Akhirnya aku meutuskan untuk periksa di sebuah rumah
sakit khusus THT di daerah Salemba. Di sana perlengkapan pemeriksaan
pendengarannya tidak hanya audiometri saja. Ada beberapa tes lain yang aku
belum pernah mencoba dan prosesnya cepat. Satu hal yang ku ketahui hari itu
tentang hearing aid devices: it costs you one liver for just a single
device.
Agak berlebihan, memang. Tapi, begitulah. Alat bantu
dengar banyak jenis dan variasinya. Kalau mau tengok ke marketplace, di situ kebanyakan jenis versi yang “murah”. Jenis yang dijual di sana kebanyakan jenis yang
unadjustable. One fits all. Jadi kalau kamu butuh yang sesuai dengan level
pendengaranmu, jenis ini belum tentu bisa memenuhinya.
Sementara yang jenis adjustable bisa didapat di counter
khusus alat bantu dengar. Jadi di sana bisa periksa sekalian pesan alatnya.
Nah, yang ini biasanya buatan Jerman atau negara Eropa lainnya. Canggih, sih.
Suara yang dihasilkan pun relatif jernih. Awet pula. Kamu bisa cek alatnya
secara berkala, minta dibersihkan sampai minta ganti tube atau beli baterai di sana.
Itulah kenapa aku bilang aku mungkin ga bisa hidup
tanpa hearing aid ini. Alat mahal
ini. Ia yang membuat dunia senyapku kembali memiliki suara. Ia yang membantuku
mengikuti percakapan dengan orang lain. Tapi, tahu gak kalau hearing aid itu bukan segalanya?
Bahwa hearing
aid membantuku mendengar lebih jelas dengan menyaringkan suara di sekitarku
adalah benar. Cuma, sebagian orang menanggap orang dengan hearing impairment jadi bisa mendengar dengan normal setelah memakai hearing
aid.
Itu keliru.
Hearing impairment tidak
dapat diperbaiki menjadi normal kembali. Coba sebutkan apapun ciptaan Tuhan
yang telah rusak dan dapat kembali normal oleh manusia? Hearing aid—sebagaimana namanya—hanyalah alat bantu. Ia bukan alat ajaib yang kemudian dapat membuat orang
seperti aku bisa kembali memiliki kemampuan mendengar seperti yang aku punya
ketika aku lahir dulu. Engga. Bukan.
There were times
when I finally wore my hearing aid and some people complained at me whenever I
couldn’t get into the conversation through. Iya, ada. Banyak,
malah.
“Kamu pakai hearing
aid gak, sih?” Mereka bertanya sambil
memaksa mengecek sisi telinga yang menggunakan hearing aid untuk memastikan apakah aku benar-benar sudah
menggunakannya. Kalaupun sudah, mereka heran kenapa aku masih jadi conversation killer. As if hearing aid is the only answer.
Kalian, orang dengan kemampuan mendengar yang normal,
apakah pernah tidak mendengar ketika dalam sebuah obrolan? Apakah pernah harus
meminta lawan bicara mengulang kalimatnya? Apakah pernah berada dalam situasi
di mana orang di sekitarmu harus menghentikanmu untuk membantu temanmu yang
sedari tadi mencoba berteriak memanggilmu?
That also goes with
us too.
Apalagi dengan kendala-kendala lain seperti berada
dalam sebuah forum yang bising. Atau tiba-tiba baterai habis. Atau lagi gak
fokus (kalian pernah juga, kan? Kayak di iklan air mineral itu).
Menggunakan hearing
aid tidak berarti pasti bisa
mendengar dengan normal kembali. Hearing
aid itu sejatinya hearing amplifier.
Bagi teman Tuli atau tuli-wicara, alat ini tidak dapat membantu banyak. Oleh
karena itu, mereka masih bergantung pada metode lips reading untuk berkomunikasi.
Hard of hearing seperti aku,
yang baru menggunakan hearing aid
empat tahun belakangan dan mampu berkomunikasi seperti orang lain, berada dalam
grey area di mana tidak terlihat tuli (karena tidak berkomunikasi pakai bahasa isyarat), namun jelas kesulitan untuk mendengar. Salah satunya seperti yang aku
bilang tadi, ada saja orang yang menganggap aku tidak becus berkomunikasi padahal sudah pakai hearing aid.
Emang ada? Ada, dong. 😂
Tapi kondisi ini memudahkanku untuk melakukan seleksi
kepada orang-orang yang menghambat upayaku untuk menerima diriku sendiri. Self acceptance.
Kalau ada yang merasa orang sepertiku layak untuk disakiti, then you are not deserve me at all.
Kalau ada yang merasa tak nyaman berbincang denganku
dan enggan berteman denganku karena aku kerap jadi convo killer, then kill it.
Lega rasanya sudah coming
out kepada keluarga dan orang-orang di sekitarku bahwa aku adalah seseorang
dengan hearing impairment. Tapi yang
jauh lebih menenangkan adalah aku sudah coming
in kepada diriku sendiri bahwa aku menerima diriku just the way I am.
Yang lebih menyenangkan lagi? Orang-orang yang paham
aku bagaimana dan bersedia mendengarkanku. Tak banyak, tapi aku tahu mereka menerima dan menyayangiku.
Oh anyway, happy
international disability day! 💙[]
12th March 2020, somewhere
Comments
Post a Comment