Optimisme Hujan

Malam tadi, Si Paling Kecil tergopoh-gopoh datang ke kamarku membawa serta bantal dan guling kecilnya: mau bobok sama Bunda. Baik.

Seperti malam sebelumnya, hujan tetiba turun cukup lebat. Pas sekali sebagai suara latar sebelum tidur kami.

Penyejuk ruangan sudah disetel normal sehingga niscaya sudah tidak bikin menggigil lagi. Kaus kaki sudah dipakai, botol minum tersedia di samping dipan, dan selimut sudah siap (jaga-jaga siapa tahu butuh diselimuti). Semua ada, seperti biasa.

Kami berbincang sebentar, seadanya. Lalu saling mencium, memeluk, menghirup rambut, sebanyak-banyaknya. Sesekali tertawa, selepasnya.

Lalu ia bilang: Bun, hujannya hilang.

Aku menyahut: oh, bukan hilang, tapi berhenti. Hujan tak hilang, tapi berhenti.

Di detik aku mengatakan itu, aku menyadari sesuatu. Kita memang tak pernah menganggap hujan hilang. Hujan itu hanya berhenti. Kita meyakini hujan pasti akan datang lagi. Sebuah optimisme bawah sadar yang kemudian menjadi kepercayaan umum.

Kita begitu beriman pada optimisme hujan, namun rasanya sebagian dari kita tak mampu meyakininya dalam kadar yang sama untuk hal-hal macam hujan dalam hidup kita. Pada pelangi yang datang, begitu juga pada badai .

Bahwa layaknya hal-hal buruk, yang baik dan menyenangkan pun hanya sementara. Ia akan kembali lagi, dalam wujud dan ukuran yang berbeda. Walau kita tak menyadari keberadaannya, ia tetap di sana. Menunggu waktu untuk kembali "ada".

Sayangnya, kita lebih mudah percaya untuk menerima hadirnya "pelangi" dari pada "hujan", meski mereka berdua sama adanya.[]


Pondok Betung, 17 September 2020

Comments