Hanya membelikan anak buku bukanlah bukti Anda sedang tumbuhkan minat literasinya


Don't you love this scene? (Pict from here.)

Dulu waktu gue kerja di sebuah workshop advertising, gue berteman dengan beberapa ibu-ibu yang (sayangnya) ga suka baca buku. Katanya paling mentok baca majalah. Jadi di sana gue ga punya sparing partner ngegosipin buku mutakhir.

Waktu gue tanya kenapa gak suka? (Salah satu) jawabannya: pegang buku tuh bikin ngantuk. YHA~

Karena semangat gue yang geday buat nularin virus ngegosipin buku, maka gue bawa beberapa buku dan majalah yang menurut gue bisa mereka sukai sebagai pembaca pemula. Buset. Umur tiga puluh baru “pemula”! Yeah, gapapa. Daripada ga sama sekali ya, kan.

Tapi tau ga, yang gue heran adalah mereka lulusan strata satu, lho. Iya. Gimana mereka bisa “meluluskan diri” menulis skripsi tanpa baca buku cobak? Gimana caranya mereka membuat diri mereka paham materi kuliahnya tanpa membaca? Atau jangan-jangan mereka pegang buku hanya jika momen ujian dan skripsi aja? Ya, pantes sih kalo gitu, mah.

Soal itu, kita pasti sering denger orang komentar: tumben baca buku, mau ujian, ya?

Why? Like, WHY THE HELL YOU PEOPLE THINK?


Gue pernah loh nemu satu orang yang bilang ke gue: kamu ngapain sih baca beginian?

(((beginian)))

Itu konteksnya seseorang lagi maen ke kos gue yang mana gue lagi baca dan kamar gue beranatakan sama buku-buku. Lalu dia tanya gue lagi baca buku apa. Gue tunjukkin novel yang lagi gue pegang dan ceritain beberapa buku laen yang lagi gue selesaian juga. Dia anak eksak, btw. Cowok. Batal gue pacarin. Wkwkwk. (Adakah korelasi anak eksakta dengan alergi membaca? Not sure. Gue lagi ketemu yang aneh aja kayaknya.)

Nah, kebalikannya, kalo gue lagi pegang hape mulu dan gue bilang “lagi baca” itu juga rangorang pada ga percaya. Padahal, gue bisa aja lagi baca artikel berita, ato PDF-PDF yang pernah gue donlot, ato yang paling sering ya baca e-book dari hape. Maklum, blom punya Kindle. *buka donasi*

Seolah-olah aktivitas membaca ya hanya dibatasi pada lembar-lembar kertas aja. Di luar itu ya berarti lo scrolling Facebook, ma men! X)))

But hey. Mencintai buku kan habitus yang wajib diwariskan. Gue ga perlu jabarin pentingnya baca buku, ya. Layaknya value dalam hidup, ia musti diperlakukan seperti benih yang akan mengayomi anak-anak kita. Habit ini salah satunya bisa mengakar kuat sejak dari rumah alias orangtua yang jadi apparatusnya. Masalahnya, masih ada banyak banget sebagian orangtua yang merasa ini bukan bagian dari value yang harus mereka upayakan layaknya pendidikan formal.

Kalo kayak kasus temen gue itu, di satu sisi gue kasian sama mereka yang belom doyan baca itu, di sisi lain gue khawatir sama anak-anak mereka. Akankan mereka akan menyelesaikan sekolah hanya demi angka-angka akademis dan titel semata?

Trus gimana, dong?

Kalo kalian pikir masalah pada temen gue itu bisa teratasi dengan cara membelikan anaknya buku, oooo tidak semudah itu Pulgoso.

And dear my friend, buying a lot of books to your beloved ones is not the answer. Why?

Sebab yang lo sediakan adalah medianya: buku. Lo belom nyediain mentalnya: suka baca buku. Coba bedain: menyediakan jutaan buku dengan mendampinginya membaca satu buku adalah dua hal yang berbeda. Dan itu adalah pokok dari pola pengasuhan anak-anak: menjadi teladan.

But please. Sebagian orang yang belum menuntaskan proses literasinya kemudian berada di tengah-tengah dunia digital di mana informasi dijejali di tiap inci jari, selalu kepayahan menerima, mencerna hingga membahasakan ulang tiap pengetahuan yang ia dapat.

Yaelah. Ga usah jauh-jauh. Kalo lo perhatiin di sosmed grup , banyak orang yang semacam ga mampu membaca caption. Jadi fotonya dipelototin, lalu ngirim komentar tanpa sanggup selesai baca caption. Padahal, sesuatu yang ia tanyakan itu sudah disediakan dalam caption.

Itu baru yang di depan mata, belom spesies yang impoten untuk nyari informasi tandingan sebagai bahan tabayyun dan klarifikasi. Lalu apakah ini alasan negara kita berada di nomer 60 dari 61 negara yang masuk dalam indeks literasi global? Gue ga tau.

Gue ga tau apakah itu yang jadi masalah, yang jelas sebagian titik masalahnya ada pada peran sebagian orangtua yang belum sadar bahwa mewariskan kecintaan pada buku itu adalah skill utama untuk mendapatkan pengetahuan selain dari sekolah. Bahwa membaca buku tak perlu lagi dilihat sebagai aktivitas sebelum ujian semata. Bahwa membaca buku tak lantas harus dapat mengubah prestasi seseorang jadi menanjak DALAM SEMALAM.

Ini proses, bukan simsalabim abakadabra. Toh, haruskah semua diukur hanya dalam satuan-satuan nilai akademis semata? Haruskah selalu begitu?

Saat ini, di mana deschooling udah jadi sesuatu yang diterima di masyarakat kita, kelak bukan tak mungkin level perkuliahan pun akan ikut mengalaminya. Ini pada satu hal sebetulnya adalah hal baik sebab kita jadi punya pilihan lain untuk mencerdaskan diri. Namun gue blom yakin apakah negara ini (secara kultural terutama) cukup siap untuk ambil bagian dalam tren pendidikan ini.

Ya ga tau satu abad ke depannya, sih. Moga negaranya juga masih ada, ya. Wkwk.[]