Soliloqui Seorang Anak Kecil


Itu adalah Jumat pagi yang sejuk dan damai. Sebetulnya. Hingga tangisku yang menggelegar—seperti biasanya—pecah dan membangunkan adik bayi. Para Orang Dewasa kemudian jengkel. Sebab sebagaimana kau tahu, anak kecil yang menangis adalah gangguan. Apalagi jika suaranya kencang, panjang tak terputus.


Memang begitu gaya tangisku. Tangis yang membuat semua orang ingin berpaling sebab suaranya menyebalkan. Tapi tangis tetaplah tangis. Aku menangis sebab aku sedih. Aku menangis kerap kali karena aku kecewa. Kecewa pada diriku sendiri yang tak mampu mengendalikan diriku. Sementara, para Orang Dewasa semua menuntutku untuk segera diam.


Bagaimana caranya untuk menghentikan tangis ini? Bagaimana cara agar aku tidak sedih lagi? Adakah cara supaya aku bisa tertawa dan bermain lagi? Tahukah kalian, para Orang Dewasa? Maukah kalian memberitahuku bagaimana caranya?


Sayangnya, mereka, para Orang Dewasa, kerap tak menemukan cara yang tepat untuk memberitahuku. Untuk menunjukkan padaku bagaimana meredakan tangisku ini. Beberapa kali aku meminta satu-dua pelukan yang ternyata belum benar-benar bisa menghilangkan sedihku ini. Walau, para Orang Dewasa pun kadang enggan memelukku ketika aku menangis.


Para Orang Dewasa biasanya terus berkata “diam”. Selalu menyuruhku untuk diam. Mungkin mereka tak mengerti rasanya menangis karena sedih dan harus segera menghentikan tangisnya. Apapun alasannya. Bagaimanapun caranya. Mereka sangat terganggu dengan tangisku. Tak jarang pula mereka berkata, “malu kalau nangis keras-keras.”


Sekali-dua aku menangis karena kesakitan. Jatuh atau terjerembab. Namun aku cukup sering menangis karena kesakitan dipukul, disiram atau dilempar barang-barang. Iya, semua itu jelas menyakitkan untuk makhluk mungil seperti aku. Dan lebih menyedihkan karena dilakukan oleh kalian, para Orang Dewasa, yang begitu aku sayangi.


Tangisku akan semakin menjadi saat para Orang Dewasa berteriak membalas tangiskanku yang sangat kencang. Menyebut satu-dua nama hewan atau kotoran. Aku tak paham mengapa mereka harus menyebut itu semua sambil berteriak. Aku semakin tak paham sebab mereka tak membantuku meredakan tangis ini. Dan begitulah aku merasa sendiri.


Mauku tak banyak. Inginku biasanya hanya sederhana. Tapi semua itu seringkali terbentur maunya para Orang Dewasa. Aku ingin pegang benda yang sering mereka pegang, tapi ditolak. Aku mau memainkan benda yang banyak gambarnya itu, namun dilarang. Biasanya para Orang Dewasa akan bilang, “jangan, nanti rusak.” Apakah barang itu takkan rusak jika mereka yang pegang atau mainkan?


Aku kerap teguh pada kemauanku. Pada pendirianku akan sesuatu. Aku punya keyakinan sendiri akan keinginanku. Dan ini juga menjadi masalah pada para Orang Dewasa. Mereka mau aku tidur cepat. Mereka mau aku segera mandi. Semakin aku keras kepala, kadang makin keras pula pukulannya.


Saat ini aku, tak ingin apa-apa. Aku ingin dipeluk saja.


Tulisan ini didedikasikan untuk anakku, Levi Zaidan WIsanggeni. Selamat ulang tahun, Le. Semoga kau selalu bahagia dengan apapun yang kau miliki.
- Bunda