NaWilla dan membalik halaman kisah masa kecil
Saya tak
punya banyak buku fiksi yang bercerita soal anak-anak. Maksudnya bukan buku
anak-anak lho, ya. Tapi buku yang bercerita tentang anak-anak. Untuk menyebut
satu-dua, ada Pangeran Kecil dan Toto Chan. Itu saja.
Kalau
diingat-ingat, memang buku macam itu agak jarang. Kalaupun ada, ya mungkin bercerita
tentang dunia anak-anak dalam perspektif orang dewasa. Padahal, setelah membaca
Pangeran Kecil dan Toto Chan, rasanya dunia anak-anak itu seru. Tak pernah
kehabisan bahan untuk diceritakan.
Suatu
waktu, saya sedang Insta-walking (ya macam blog walking gitulah)
di beberapa curated book shops. Lalu saya ketemu postingan NaWilla
ini. Buku yang sampulnya berwarna kecoklatan ini belum pernah sekalipun saya
lihat di toko buku (setidaknya di satu toko buku besar berinisial G itu). Satu-dua
foto masih saya skip. Tapi lalu fotonya makin banyak. Di book shop
sebelah juga ada. Wah, seberapa menarik sih buku ini, sampai banyak dijual di
Instagram? Sementara saya tak pernah tahu sebelumnya.
Penulis NaWilla
adalah Reda Gaudiamo. Nama penulisnya tak asing. Saya sering lihat nama beliau
di beberapa majalah wanita sebagai redaktur atau juri pada event menulis.
Tapi saya belum pernah punya satupun buku yang ditulisnya. Saat saya search
menggunakan hasgtag NaWilla, semua responnya positif. Nah, makin penasaran,
deh. Lalu saya belilah itu buku. Plus, satu buku lagi dari penulis yang sama,
judulnya: Aku, Meps dan Beps. Karena sudah
mengintip beberapa testimoni dari pembaca, saya jadi berekspektasi bahwa buku
ini bakal jadi page turner. Bisa khatam dalam sehari.
Buku jenis page
turner sebenarnya menyenangkan sekaligus menyebalkan. Di satu sisi ia semacam
adiksi, namun di sisi lain harus rela bukunya cepat khatam. Bookgasm. Iya,
itu memuaskan dan menyebalkan buat saya. Sebab saya jadi tak punya bacaan bagus
lagi. Dan harus mencari buku lainnya.
Long story
short, dua hari
sejak dipesan, sampailah dua buah buku Reda di rumah. Wah, bukunya tipis
ternyata. Kalau benar ia adalah page turner book, alamat rampung dalam
dua jam ini (plus nenenin, ngemil dan pipis). Saya bahkan menunda melanjutkan
buku yang sedang saya baca. Kemudian membulatkan tekad untuk membaca NaWilla
saja.
NaWilla
ditulis dalam format fragmen-fragmen pendek. (Sumpah, bahasa tuturnya enak banget!)
Di tiap halaman ada sisipan ilustrasi seperti sketsa yang dibuat oleh Cecilia
Hidayat. Fragmennya dibuat beralur. Di awal, tiap fragmen menceritakan siapa
saja tokoh-tokoh yang dekat dengan Willa. Juga bercerita tentang rumah sebagai
latar cerita.
Buku ini
berkisah dari perspektif “aku” sebagai Willa. Seperti kebanyakan makhluk mungil
yang belum lama hadir di bumi, banyak hal dipertanyakan eksistensinya. Seperti,
“Kalau aku jadi anak laki-laki, aku
bisa seperti Mak?”
“Ya bisa,” kata Mbok.
“Kalau begitu aku mau jadi anak
laki-laki saja,” kataku.
“Bagaimana? Kamu anak perempuan.
Sampai kapan juga anak perempuan!”
“Nanti aku pakai celana terus.”
“Tidak bisa, Noni. Kamu perempuan.
Perempuan!” (hlm 10)
Selain
kerap mempertanyakan hal-hal di sekitarnya, Willa pun memiliki keingintahuan
yang begitu membuncah. Misalnya saat Willa akhirnya menaiki buffet dan
membongkar radio untuk melihat apakah di dalamnya ada orang kecil yang
bernyanyi atau tidak. Seperti anak usia prasekolah lainnya, Willa tetap
melakukannya meski sudah diperingatkan oleh Mak.
Aku
mencoba memegang lampu yang menyala itu, ketika tiba-tiba Mak sudah berdiri di
sampingku. Sekali rengkuh, Mak memelukku, menggendong dan menurunkan aku dari
buffet. Papan tipis itu masih menyangkut di jari telunjukku.
Aku dengar Mak menggeram. Seperti
kucing yang sedang marah. (hlm 61)
Mak,
layaknya mayoritas ibu di dunia ini, sering mengomel dan sangat protektif
kepada anak semata wayangnya itu. Namun di balik “kegarangannya”, di mata Willa
Mak adalah perempuan manis dan cantik. Relasi ibu dan anak ini juga relatif
harmonis.
Sementara
Pak, sebagai kepala keluarga dan Ayah Willa, ia jarang dimunculkan dalam
cerita. Bekerja sebagai pelaut membuatnya absen dari banyaknya cerita. Bahkan,
cenderung tidak banyak diberi ruang untuk dikisahkan.
Menurut
saya, keunggulan NaWilla adalah cara bertutur yang apik dan perspektif cerita
yang jarang dipilih penulis ketika menulis buku mengenai anak-anak. Selain itu, hal lain yang menurut saya sangat impresif adalah latar belakang dan garis besar cerita yang bagai buaian ibu sendiri. Saya diingatkan masa kecil saat main dengan teman sebelah rumah. Atau tidur siang dengan Ibu saya. Atau saat bulan puasa tiba. Rasanya perlu membaca ulang Willa untuk sekadar klangenan masa kecil saya.
Dan barangkali,
ini adalah buku cerita tentang anak-anak terbaik yang pernah saya baca.[]
Comments
Post a Comment