Tentang Lelaki yang (Tak Habis-habisnya) Memandangiku
Awalnya aku tak begitu peduli akan kehadirannya. Beberapa kali sempat dengar tentang dia
dari teman sekelasku yang tak bisa diam kalau ada kakak kelas yang menarik
perhatiannya. Si kakak kelas yang punya potensi jadi idola baru. Sampai aku benar-benar menyadari ada makhluk ini di dekatku. Dia, yang kerap memandangiku walau aku jauh ada di belakangnya.
Dulu ujian
berlangsung dengan sistem duduk sendiri-sendiri. Agar ruang yang ada bisa
maksimal terpakai, maka tiap kelas dipasangkan dengan kelas di atasnya.
Misalnya, kelasku 2-2, maka nanti satu ruangan dengan kelas 3-2. Begitulah
awalnya aku bertemu dengannya.
Dia duduk
di bangku paling depan pojok dekat pintu. Sementara aku awalnya ada di deret
yang sama dengannya. Hanya berbeda satu baris saja. Tak sulit baginya untuk
mencari ruang agar arah pandangannya lurus kepadaku. Sesederhana itu, ia
bisa membuat hari-hariku terasa bahagia.
“Kamu tahu
si A?”
“Oh, yang
duduk sama si L?” Dalam hati, manalah aku bisa tak tahu. Lalu tertawa kecil,
juga dalam hati.
“Iya. Dia
kok ngeliatin elo terus, ya?”
Aku diam. Aku
dan temanku itu kemudian tertawa. Ia mulai menggodaku. Caranya memandangiku
memang termasuk nekat. Kadang bisa lamaaa sekali. Seolah-olah tak peduli pada
siapa-siapa di kanan-kiri. Di akhir semester pun, setelah ada temanku yang
pindah sekolah ke Padang dan membuat nomor urutku maju satu angka, posisi
dudukku jadi berada di deret paling belakang. Posisi yang tak enak untuk
mencuri pandang, sebetulnya.
Tapi
ternyata ia tetap mengarahkan pandangannya padaku.
Dengan
jarak sejauh itu. Dengan posisi duduknya yang memaksanya memutar badannya lebih
dulu. Ia tetap memandangiku.
Lelaki ini
tinggi. Badannya kurus dan cenderung agak bungkuk karena semampai tadi.
Kulitnya putih dan rambutnya keriting. Ia punya senyum yang manis. Ia pintar
bahasa inggris. Ia anak lelaki pemalu yang rasanya temannya hanya satu-dua
saja. Tak lama setelah aku menyadari kehadirannya sebagai kakak kelasku, baru
kutahu bahwa aku tak sendiri. Ada anak perempuan lain yang telah lebih dulu
“menemukannya”.
“Si A itu
bukannya yang sering pulang bareng si E anak 2-1, ya?”
Aku
mengangkat bahu. Aku betul-betul tak tahu. Tak ada yang tahu juga jenis
hubungan apa yang sedang dijalani pujaanku dengan anak kelas sebelah itu. Tak
ada yang bilang mereka pacaran, meski anak perempuan itu kerap ada di samping
pujaanku. Akhirnya aku sesekali melihat pujaanku itu pulang bersama anak
perempuan kelas sebelah itu.
Cemburu atau iri? Engga lah. Sebab aku tahu anak
perempuan itu tak dipandangi lama-lama oleh pujaanku seperti ia memandangiku.
Mungkin
anak perempuan ini akhirnya tahu dari teman-temanku bahwa aku juga turut
“menikmati” pujaannya—dari kejauhan tentu saja. Ia lalu mengirimiku selembar
surat.
Isinya?
Kira-kira
begini:
Anggie,
kamu suka sama A? Aku engga
apa-apa kok. Kalau kamu mau, aku bisa bantu ngenalin kamu sama dia.
Gimana?
Surat itu
dibaca bukan olehku seorang, tapi juga beberapa temanku yang tahu soal ini. Aku
lupa bagaimana respon mereka, yang jelas aku tepis tawarannya. Sampai akhirnya
anak perempuan itu menemuiku empat mata dan kembali bertanya soal tawarannya.
Aku menggeleng dan menolaknya.
Pujaanku
yang sangat pemalu itupun tak melakukan apa-apa. Kami kadang bertemu di koridor
sekolah dan hanya saling memandang sebentar. Pada perjalanan wisata sekolah ke
Taman Mini, ia selalu ditemani si anak sebelah. Aku menikmati kehadirannya
dalam hening. Tak menggubris anak lelaki lain. Hingga sudah saat baginya untuk
lulus dari sekolah.
Ada
perasaan kehilangan, tentu saja. Tapi apalah makna kehilangan bila yang
kurasakan ini absurd adanya. Bukankah kita berhak merasa kehilangan pada
apa-apa yang telah kita miliki? Bagaimana bisa aku merasa kehilangan pada
sesuatu yang bukan milikku?
Di hari
pertama kami menempati kelasnya yang dulu dan menjadi kakak kelas paling tua,
seorang teman yang duduk di bangku belakang berseru padaku. Ia menemukan dua
(atau tiga, aku sendiri lupa) potongan foto wajah pujaanku ada di laci mejanya. Sebuah
kebetulankah?
Foto-foto itu sengaja digunting cukup rapi pada bagian wajahnya
saja. Ia di sana tersenyum, manis sekali.
Hari-hati
berikutnya kadang aku menghabiskan siang memandangi fotonya dan berakhir
menangis. Tapi itu tak berlangsung lama. Aku tak mau membiarkan diriku bersedih
untuk seseorang yang belum tentu memberi ruang di pikirannya untukku. Dan
begitulah kadang beberapa cerita harus berakhir.[]