Sampai jumpa, Medela...

Makin banyak botol yang tidak terisi :(

Perpisahan ini adalah bulat keputusanku. Sempat ragu untuk benar-benar meninggalkanmu, namun akhirnya kupilih juga. Sebab sejatinya perempuan memiliki suara dan posisi politisnya apabila ia menyadarinya. Dan sejak dulu aku percaya, seorang ibu tidak dinilai baik atau tidak hanya dari susu yang diminum anaknya.

Sebagian mungkin merasa ini keluhan tiada henti. Tidak melihatnya sebagai hal yang manusiawi. Tak apa, kadang hidup memang harus jalan sendiri.

Mungkin sekitar tujuh bulan, Medela, kamu menemaniku. Membisikanku, menyemangatiku di tiap detik tanganku berjungkit berjuang meraih tetes demi tetes ASI. Aku harus beradaptasi dengan jari yang kapalan atau sendi tangan yang kerap nyut-nyutan. Tak pernah menyangka pekerjaan (yang dilihat sebagian orang) sepele ini ternyata melelahkan.

Ya, Medela, lelah. Begitu banyak friksi, begitu banyak drama, ketika kita masih bersama. Kau mungkin satu-satunya saksi yang tahu bagaimana kantung mataku mulai berubah menghitam dan mencekung. Bagaimana akhirnya kudapat berat badan semula, bahkan kebablasan. Bagaimana aku menjungkit dengan dada penuh amarah. Bagaimana aku kewalahan menahan sedan dan mata yang sering kuseka karena air mata. Mungkin tak banyak yang tahu ini adalah rutinitas membosankan yang tetap harus kau lakukan, capek atau tidak.

Awalnya memang tak pernah kubayangkan akan bersama denganmu. Sama sekali. Kupikir, tak apalah, yang penting si bayi tetap minum ASI. Tapi hidup sebetulnya sudah mengajari kita banyak hal. Bahwa tak ada yang mudah di dunia ini. Jam istirahat kupakai untuk berjuang bersamamu. Makin lama, semakin susah untuk mencari waktu. Tak jarang proses berjungkit harus diinterupsi bayi yang menangis minta susu. Tak peduli apakah ada orang selain aku. Tak jarang suaraku tenggelam, hilang dibawa angin.

Semakin aku larut dalam kalut, semakin jauh diriku untuk mereguk hasil yang berlimpah. Pada titik itu, Medela, keimananku untuk tetap sabar selalu goyah. Aku sebenarnya hanya butuh dipeluk dan dipahami sebagaimana manusia yang kerap ingin berhenti. Tapi tak pernah semudah itu, Medela. Kau tahu itu.

Tiap tengah malam aku terbangun, tiap selesai berjungkit memerah sebotol-dua botol ASI, aku kadang berpikir kapankah semua ini selesai? Perjalanan ini tak semudah dan seindah cerita-cerita. Misalnya ketika aku harus berjungkit tapi malam kian larut dan banyak hal belum diselesaikan. Aku lalu mendapat pertanyaan: sejak tadi ngapain saja? Pikiranku menerawang, berkelebat banyak hal yang sudah kulakukan dengan sepasang tangan ini.

Apakah mereka mengerti rasanya makan ketika belum lapar? Apakah mereka tahu sulitnya menahan kantuk sementara kau belum boleh tidur? Apakah tahu rasanya melakukan hampir semua hal sambil menggendong bayi yang menjerit menangis di dalam pelukanmu?

Kita tak akan pernah bisa berharap orang lain peduli, Medela. Siapapun dia. Kita tak akan pernah bisa menunggu untuk dibantu. Tak akan bisa berharap orang berempati pada kita. Yang bisa kita lakukan adalah mengerjakan semuanya sendiri. Dengan atau tanpa orang lain. Dan tujuh bulan adalah waktu yang cukup bagiku. Kita akan segera berpisah, Medela.

Terima kasih sudah menemani tiap kali aku berjungkit kapanpun si bayi tidur. Terima kasih telah memberikan dukungan bahwa aku bisa kembali mengisi botol-botol kaca yang sempat kosong dan terus mengingatkanku bahwa aku bisa. Terima kasih untuk detik-detik yang kuhabiskan sambil melamun. Memikirkan banyak hal denganmu. Dalam tujuh bulan yang pasang surut ini, kamu tetap hal yang paling baik dalam mengajariku melihat orang lain dari perspektif yang berbeda. Tujuh bulan yang pasang surut ini akan diingat sebagai pelajaran hidup, Medela. Bukan semata-mata waktu saja.

Terima kasih untuk semuanya.

* 00.54 ditulis dengan sedikit bumbu drama dan rasa haru*