Lacto Ovo Vegan to be: a diary (one)


Ini sebetulnya niat yang sudah agak lama hibernasi di dalam pikiran saya. Sempat membuat blue printnya namun belum juga dilaksanakan. Sampai akhirnya saya membaca sebuah wawancara dengan Dewi Lestari, si ibu suri. Dalam wawancara itu, dia menyebutkan: gizi dan kesehatan lebih penting dari sekadar piknik lidah. Dari situ, saya merasa ada banyak kesamaan persepsi dengan yang diungkapkan Mbak Dee. Salah satunya ya itu, bahwa makanan seenak apapun hanya bertahan sampai lidah. Selebihnya tidak. Motivasi saya untuk mengubah mind set makan saya pun makin kuat. Yang penting: motivasinya jangka panjang. Saya optimis bisa, karena Mbak Dee yang awalnya juga merasa agak kesulitan toh akhirnya berhasil.

Dulu saya rajin puasa Senin-Kamis (penting ya, untuk di Bold). Rajin banget, malah. Sampai-sampai meski tidak pernah sahur, saya tetap berpuasa. Yang saya rasain sih, badan terasa segar dan fit. Awal mengapa saya rajin puasa adalah waktu itu saya harus mondar-mandir ke kampus dalam rangka merampungkan skripsi. Bolak-balik beberapa spot di kampus, membuat saya yang gampang dehidrasi ini lemas. Tetapi waktu bulan Ramadhan tiba, saya justru tidak lemas sama sekali. Malah cnderung segar-bugar. Hari di mana saya harus tour de campus seharian sampai sore tidak membuat saya lemas. Dehidrasi, pasti. Tapi saya melangkah dengan ringan. You know what I mean.

Nah, sejak itu, saya konsisten puasa terus. Tubuh berasa didetox. Contohnya, meski saya puasa, BAB tetap rutin dan badan terasa lebih segar. Bonusnya: berat badan jaman kuliah di tangan. Bahkan pernah under weight dua kiloan. Namun waktu saya mulai kerja, puasa mulai bolong-bolong. Sudah tidak rutin lagi. Sementara, kuantitas makan bertambah. Ketika malam, sepulang kerja, saya berasa habis nyangkul dua hektar: lapaaaarrr berat. Akhirnya, yang tadinya saya tidak pernah makan malam (dengan nasi) justru makan full. Over weight? Lima kilo. #ngek

Tanda-tanda over weight belum terasa sampai celana kantor kesayangan menunjukkan perubahan. Oh, bukan, perutnya yang berubah. Lalu kemeja. Lalu kaos. Lalu bra (sigh). Hingga yang tadinya saya masih santai ketika timbangan memperlihatkan angka 50, saya mulai tidak santai saat angkanya jadi 53. ENGGA SANTEEEEEE!! Fyi, berat normal saya 48, sodara-sodara.

Mau rajin puasa lagi, excuse-nya banyak banget. Dari mulai males, sampe pertimbangan saya saat ini beberapa kali harus melakukan some bussiness trip (caelah bahasanya). Pokoknya alesanlah! Akhirnya saya mau coba menjaga pola makan. Pola seperti apa? Polkadot atau tartan?

Jadi setelah merefleksikan apa yang dibutuhkan, saya tahu apa yang harus diubah: yaitu mind set dari aktivitas makan. Bukan polanya, bukan pula jadwalnya, pokoknya bukan. Dan kenapa mind set? Ya, kenapa pola pikir? Karena saya merasa harus mengetahui alasan kenapa saya makan. Apa yang saya makan. Tidak asal mangap, asal telan, waton wareg. Kenapa tidak bisa asal? Sebab apa yang dibangun oleh tubuh ini berawal dari apa yang masuk dari mulut. Apa yang direspon tubuh, berasal dari apa yang dimasukkan ke mulut. Dan saya, ingin menjaga pola pikir ini sampai tua nanti. Bukan karena ingin turun berat badan. Bukan juga karena mau langsing. Oke, well, mendapati celana dan baju yang semakin sempit memang nightmare. Saya paling males kalau harus upgrade size pakaian. Betapa bakal konsumtif sekali jadinya. Tapi bagi saya, ada yang jauh lebih mengerikan dari itu. Dua di antaranya adalah penyakit macam diabetes dan kolesterol yang begitu mengerikan. Jangan sampai deh yaaaa….
 
Sebetulnya, kalau hanya cari langsing atau turun berat badan bisa dengan diet, ngegym, atau ikut-ikutan jadi member produk pelangsing Herbal-whatsoever itu. Tapi apabila saya sudah capai berat ideal, bisakah saya mengontrol apa yang saya konsumsi? Bisakah saya mempertahankannya—dengan pola makan diet atau dengan terus megkonsumsi produk Herbal itu? Sepertinya engga, ya. Karena itu, saya memilih mengubah mind set, instead of choosing diet. Sebenarnya sih cara yang ditempuh mirip, hanya beda tujuan. Diet bertujuan supaya turun berat badan, sementara cara mengubah mind set yang saya pilih tujuannya jangka panjang. Mau berat saya turun atau tidak, saya sudah memilih. Tujuan saya ingin sehat terus. Bahkan sampai tua, saya mau tetap fit dan bugar. Kalaupun berat badan saya turun, saya anggap itu bonus.

Lalu, apa yang saya pilih? Pertama, mengubah mind set menjadi lacto-ovo vegan.  Saya memilih lacto-ovo sebab saya merasa masih butuh protein hewani dari susu dan telur. Kalau minum susu sih, saya tidak suka. Jadi ya paling mengkonsumsi produk turunannya seperti keju atau es krim. Karena lacto-ovo, saya masih bisa mengkonsumsi produk bakeries, cookies serta cakes kesukaan. Engga gampang. Apalagi masakan padang dan bakso jadi godaan terbesar saya. Harus “berjuang sendirian” di tengah keluarga yang bukan vegan pulak. Pada saat-saat awal, saya harus jeli dan selalu mengingatkan diri sendiri agar menghindari sajian daging. Bahkan harus “putus hubungan” dengan tuna creepes favorit. Di tahun pertama saya ingin membuktikan bahwa dengan mind set ini, saya bisa lebih sehat.

Picture from: http://www.veria.com/eating-healthy/why-go-vegetarian

 Kedua, mengontrol konsumsi gula. Buat cafein addict seperti saya, agaknya sulit untuk mengurangi takaran gula di tiap cangkirnya. Terutama untuk sajian teh. Tapi saya mulai mencoba mengurangi kuantitas minumnya juga. Jadi kalau dulu bisa dua gelas besar sehari (berdua suami sih, cuma saya tetap lebih mendominasi), sekarang tehnya saya kurangi jadi hanya secangir sehari. Untuk sendiri. Dengan secangkir itu, saya memberi gula satu sendok makan peres. Kalau sudah terbiasa, akan saya kurangi lagi gulanya. Oh ya, gula yang saya gunakan tetap gula tebu. Seandainya nanti saya menemukan motivasi lain untuk beralih ke produk gula lain, akan saya  jalani. Untuk saat ini, masih gula tebu.
 
Picture from: http://www.wikihow.com/Reduce-Sugar-in-Baking-Recipes

Ketiga, mengenali apa yang dibutuhkan tubuh (baca: perut) saya. Misalnya dengan prinsip Nabi Muhammad berikut: makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Prinsip ini sudah dipakai waktu saya masih rutin puasa Senin-Kamis. Jadi sebetulnya bukan hal baru. Selain itu, saya akan mencoba lebih sensitif apabila tubuh mengirim sinyal untuk beristirahat atau sakit. Yep, we have to learn about those biological alert.

Picture from: http://synergyfitnessbootcamp.com/why-do-you-eat-what-you-know-you-shouldnt



Comments