Chiya's First Day School

Well, my lil daughter is getting big. Salah satu parameternya tentu saja: sekolah. Sebuah institusi formal yang bisa membuat seseorang menjadi “dewasa” karena educated. Dan dia, sudah jadi “anak besar Bunda” sejak dua hari yang lalu. Saya sendiri tidak begitu “ngeh” kalau dia benar-benar jadi anak sekolahan sampai hari Minggu kami serumah riweuh menyiapkan perlengkapannya untuk pergi ke sekolah. Haha, engga juga sih... Kalau ditanya, memang perlengkapan sekolahnya apa saja sih? Jawabannya: hmm... apa yaa?? Soalnya, tas sekolah, dia masih punya dua tas baru hadiah ulang tahun dan satu tas yang dipakai untuk belajar tiap hari. Alat tulis seperti pensil warna dan tempat pinsil, juga sudah ada. Lemgkap ada di tas belajarnya itu. Dan semua masih layak pakai. Sepatu, sudah dibelikan jauh-jauh hari dan sudah pernah dipakai. Jadi, tidak bisa dibilang baru juga kan?
 
Entah kenapa, dia begitu bersemangat ketika dia tahu hari Senin besok adalah hari pertamanya bersekolah. Momen itu mengingatkan first day school saya. Kira-kira seminggu sebelumnya, orang tua saya (khususnya ibu) mengajak “belanja” perlengkapan sekolah seperti seragam, buku-buku tulis sampai sepatu. Tapi yah tergantung sih... Ibu saya takkan membelikan saya (dan adik saya) sepatu atau tas baru jika memang punya kami masih layak pakai. Tapi buat saya, momen first day school beserta semangat berangkat sekolah itu begitu berbeda. Meski mungkin hanya naik kelas, bukan pindah sekolah (atau naik grade), tapi hari-hari menjelang first day school pasti membuat saya senang bukan main. Apalagi kalau ada stationery baru. Bisa-bisa saya bawa ke tempat tidur, saya kelonin semalaman (meski itu cuma sepotong penghapus baru atau buku agenda). Dan malam sebelum first day, saya siapkan semuanya. Ya, SEMUANYA. Dari baju dalam, seragam, buku-buku, isi tempat pensil, tas, kaos kaki, sepatu. Pokoknya keesokan paginya saya tinggal mandi dan berdendang dalam hati sambil berangkat ke sekolah. Oh, menyenangkan sekali.
 
Semangat yang sama saya temukan kemarin pada Chiya. Meski yang mempersiapkan semuanya masih kami—orang tuanya—namun rasa bahagia nan berbunga-bunga itu tak bisa ditutupi. Ia selalu bertanya tentang sekolahnya, tentang tempat bermainnya, tentang seragamnya, bernyanyi-nyanyi, mencoba-coba sepatunya berkali-kali, menyimpan gelang dan jepit rambutnya buat dipakai besok, bertanya jam berapa ia harus bangun, dan lain-lain. Dan benar saja, ia sudah membuka mata jam setengah enam lewat dan mengajak mandi. Padahal biasanya baru bangun jam tujuh lalu nonton SpongeBob sambil tidur-tiduran. Soal first day school, Chiya (sejauh ini) tidak termasuk anak yang freak sama sekolah. There's no drama along the day. Tidak ada tangis, tidak ada minta di temani, tidak ada minta pulang. She's so happy. So excited. 
Bundanya juga semangat. Sampai-sampai lupa kalau anak perempuannya ini sekolah di TK Islam. Pakai celana jeans, blus bunga-bunga, rambut dijepit, pakai sepatu, tapi lupa kalau harus pakai baju muslim. Minimal pakai jilbab deh. Haha... Sebut saya sekuler atau apalah. Tapi bener deh, kami semangat sekali. Dan ketika saya menyempatkan untuk mampir ke sana di hari kedua sebelum berangkat kerja, rasanya gimanaaaa gitu! Sama seperti waktu hari Senin di mana anak sekolah seluruh Endonesyia Raya masuk sekolah untuk pertama kalinya (setelah libur panjang). Di pinggir jalan di tiap sekolah yang saya lewati, penuh sesak oleh kendaraan para wali murid (baca: orang tua empunya murid) yang mengantar anaknya masuk sekolah untuk pertama kalinya serta ingin melihat anaknya berdiri dengan gagahnya sambil nyanyi Indonesia Raya. Huh, rada dramatis tapi sungguh, saya jadi agak-agak terharu gimanaaa gitu! Dalam hati saya berteriak: hey, my lil daughter is a big girl now! Selain bahagia, ada satu titik di mana saya merasa bahwa euforia ini merupakan momen di mana saya merasa benar-benar sebagai orang tua. Benar-benar berperan sebagai ibu. Intinya sih,  I think I feel so old by the fact that my girl is grows up and stuff. Bukan perkara tambah tuanya, ya (soalnya saya kan baru 25++++ :p). Tapi lebih pada persoalan bahwa saya merasa benar-benar jadi orang tua.
 
Saya melihat Chiya berlarian, menemui teman-temannya, menaruh tasnya sendiri, membuka sepatu dan menaruhnya di rak sepatu. Gosh, this is such a bless for me. Saya merasa sudah “lulus” grade pertama sebagai orang tua. Level terbawah, sih. Belum apa-apa. Jalan pun masih sangat panjang. Tapi rasanya bangga, bahagia,... campur aduk lah! Apalagi saya berjanji mau membantu suami. Dan alhamdulilah, sejauh ini saya bisa. Meski hanya membantu membelikan sepasang sepatu murah saja. Meski, ada terselip semacam rasa “menyesal” karena saya tidak dapat menemani hari-harinya di sekolah. Tidak bisa mengantar-jemput, pun tak bisa maksimal memasak untuk bekalnya (sstt, soal bekal saya ada bocoran untuk ide bekal anak sekolah lho, tunggu saja ya!). Sebab, ada beberapa ibu yang begitu mengidam-idamkan momen ini seolah-olah ini adalah masa liminal yang tidak akan bisa diputar ulang atau dikembalikan. Dan saya setuju. Bagi saya, masa sekolah adalah titik baru bagi anak dan merupakan jarak kultural bagi orang tua. Keduanya harus saling belajar. Si anak belajar mandiri, sementara orang tua belajar melepas.
 
Look how happy she is...!
Doakan saja ya, Nak. Bunda selalu sehat dan masih mampu bekerja. Selalu sehat dan selalu ingat bersyukur. Supaya masih bisa mendampingimu hingga Bunda lulus grade lapis berikutnya dan lapis-lapis lainnya. Semoga kami bisa. Amien. Bunda love you, honey...[]

Comments

  1. hwaaa chiya makin mempesonaa...tante azzah also love you , honey :)

    ReplyDelete

Post a Comment