Untitled

Awalnya, karena saya jengkel. Jengkel dengan negeri ini. Negeri yang sesak oleh orang-orang. Orang-orang yang tipikal.

Kenapa orang-orang yang tinggal di jalan gang sempit itu bisa santai dengan knalpot motornya yang bising? Kenapa mereka santai bikin judgment tentang keimanan seseorang—sementara dalam undang-undang sudah jelas-jelas tertera bahwa memiliki agama atau kepercayaan adalah bagian dari hak asasi manusia? Klimaksnya, kenapa mereka bisa mencintai dan freak dengan gadget sementara fase literer tidak pernah mereka lewati? This is a very big mark question. There’s a missing link.
 
Saya tidak dibesarkan dalam lingkup kultural yang membuat saya sadar betapa pentingnya “melek membaca” sejak dini. Saya mencintai aktivitas ini dengan begitu saja. Ketika BOBO adalah “surga”bagi saya. Ketika komik jepang dan majalah remaja begitu membius saya. Namun saya tak pernah belajar bahwa aktivitas ini merupakan fase yang harus dialami tiap manusia beradab. Jika memang ia ingin menjadi beradab. Berada dalam sebuah peradaban. Saya belajar ini ketika saya di Jogja. Ketika saya ada dalam sebuah lingkungan belajar mandiri yang aura intelektualnya begitu deras. Tidak, ini bukan kalimat lain yang ingin mennyatakan bahwa saya cerdas atau intelek. Tidak sama sekali.
 
Maksud saya, saya di sana belajar bahwa ada hal yang sangat krusial dalam membangun sebuah peradaban. Membaca—dan katakanlah menulis adalah hal berikutnya. Bahwa ada fase lisan, fase literer dan kemudian fase teknologi. Dan ketika saya “menetas”dari Jogja, ternyata tidak semua orang seperti saya. Seperti teman-teman seperjuangan saya.
Ternyata banyak orang merasa buku layaknya obat tidur bagi mereka.

Ya ampun. Betapa jarak kultural di antara kami—saya dan orang-orang ini—terbentang sedemikian panjangnya. Called me a bookworm, or whatsoever you called us. Saya tidak peduli. Tetapi saya sangat peduli pada kenyataan bahwa mereka adalah bagian dari generasi negeri ini yang kelak—semoga—bisa memperbaiki atau syukur-syukur membuat perubahan. Dan saya lebih peduli pada mereka, kaum perempuan yang akan menjadi ”agent of change” pada unit sosialisasi terkecil: keluarga.
 
How could you teach your children to be happy to read, if you couldn’t be a role model for them?
 
Ada mindset yang harus diubah. That read brings them so many benefits. A very long term benefit. You can show your children about respect for each other. About seeing through their heart, not what on the surface. Teach them to care, to help, and growing emphatic side. Then you’re about to give them a life lesson. Moreover, they will realize that bullying is not a genetic nor a ordinary kiddos behaviour.
 
Sebab itu saya bermimpi tentang Teras Bunda. Mimpi yang masih sebuah mimpi. Namun mimpi itu berangkat dari sebuah kegelisahan sekaligus kritikan. Meski saya sendirii sempat tidak yakin: apakah benar para ibu-ibu ini HANYA memerlukan fasilitas saja? Sebab sepertinya mereka bukan hanya butuh buku atau majalah untuk dibaca, melainkan juga butuh penggugah agar persepsi mengenai buku tidak lagi bagaikan obat tidur bagi mereka. Walaupun, berbicara mengenai mindset berarti juga kita sedang membahas soal generasi sebelum kita atau: orang tua. Bagaimana mereka sejauh ini mendidik kita. Bagaimana mereka membangun karakter dan kehidupan kanak-kanak kita. Meski begitu, sebenarnya masa lalu kita juga tidak hanya berada di tangan orang tua saja, tetapi juga pada institusi pendidikan: guru pada posisi agen, dan pemerintah pada posisi institusi.
 
Coba ingat-ingat bagaimana dulu kita bersekolah. Kita, yang hampir dua belas tahun wajib belajar dihabiskan pada masa orde baru yang otoriter. Masa wajib bersekolah yang  hanya mmebuat kita mahir menunduk dan terdiam. Membuat kita menelan bulat-bulat apa yang disampaikan guru. Membuat kita hanya bisa berkutat pada ruang kelas yang senyap. Dan tentu saja buku pelajaran wajib.
 
Saya pun demikian. Ruang kelas tidak pernah mengajari saya belajar berani berbicara di depan orang banyak. Orang tua pun tidak pernah mengajari saya untuk berargumen sesuai apa yang saya yakini—bukankah mereka hanya mengenal bahwa berargumen adalah membantah?. Tidak pernah ada eksplorasi cara belajar. Apalagi yang bisa dilakukan?
Bagi saya, apa yang saya—berikut individu lain dalam generasi saya—alami haruslah diubah. Menjadi orang tua tidaklah harus otoriter, tidak juga permisif. Saya yakin, apa yang diterapkan sebuah keluarga dalam cara atau pola pengasuhannya adalah cara terbaik yang mereka pilih. Berdasarkan masa lalu atau tidak. Sebab itu, saya pun enggan menyatakan bahwa apa yang saya ketahui adalah yang terbaik—sehingga apa yang ada pada keluarga lain menjadi tidak penting. Bukan.
 
Jika memang ini mau disamakan dengan sebuah kampanye sosial, maka dengan senang hati saya menyatakan bahwa saya setuju absolut jika buku dan sastra adalah indikator peradaban sebuah bangsa (mengutip kalimat sebuah harian nasional belakangan ini).

Comments