men are made to destroy women, women are made to makes men stronger (sebuah refleksi di Hari Kartini)

Satir memang. Namun, begitulah kurang lebih kenyataannya. Hari Kartini seharusnya tidak lagi diresapi sebagai hari di mana para anak perempuan memakai konde, berkebaya dan bergincu. Tetapi sebagai hari di mana kesadaran gender semakin diyakini dan diaplikasikan setiap hari. Judul ini pun, punya arti buat saya. Hasil sedikit kontemplasi. Bahwa, laki-laki sebenarnya membutuhkan perempuan untuk membuat mereka kuat. Sementara para perempuan bisa independen di atas kaki mereka sendiri--bahkan dapat memberi energi lebih bagi laki-laki. Saya pernah membaca bahwa perempuan memiliki suatu hormon yang mampu membuat mereka mencintai secara total. Hal ini kemudian dapat membuat perempuan dapat melakukan banyak hal dengan total dan maksimal, karena perempuan bisa mencintai apa yang dilakukannya dengan sepenuh hati.

Tetapi, bagaimana pun juga, kekuatan perempuan ini bisa jadi bumerang bagi diri mereka sendiri. Tak jarang para lelaki iri atau bahkan tidak suka dengan kemajuan perempuan (dalam hal kepemimpinan atau organisasional). Laki-laki (mau diakui atau tidak), sebenarnya punya ketakutan akan hal ini. Pengalaman saya merekamnya. Saya punya beberapa teman yang memiliki suami (secara langsung atau tidak) melarang para istrinya beraktivitas di luar rumah. Ada yang "hanya" melarang bekerja (lalu memberi "pekerjaan rumah" lain sebagai dispensasi) hingga yang ekstrem: tidak boleh melanjutkan kuliah dan berhubungan dengan teman-temannya. Teman-teman saya pun ada yang menanggapi dengan "senang hati", ada pula yang akhirnya menjadi pemberontak (karena sejak awal ia punya bara feminisme dalam dirinya).

Nah, yang merasa "senang hati" being at home while she got her own certificate which it's not easy to get it somehow, ini yang saya heran. Mereka punya ijazah, dan tentu saja punya kesempatan, namun mereka lebih memilih "patuh" pada suaminya untuk "mengurus anak, karena urusan cari uang adalah bagian suami". Saya pikir, sepertinya semangat Kartini belum sampai ke keluarga mereka.

mengapa si suami membiarkan ijazah istrinya dirusak jamur, dan mengapa si istri tidak menginginkan aktualisasi diri di luar rumah?
Saya pernah cerita tentang ini pada suami saya. Lalu ia menjelaskan hal-hal yang mungkin logis bagi mereka. Pertama, bisa saja si istri memang tidak menginginkan untuk bekerja atau beraktivitas lain di luar rumah. Kedua, ada kemungkinan bekerja di lingkungan wilayah di mana mereka tinggal cukup sulit--terutama untuk perempuan. Mengingat tempat tinggal mereka memang di sebuah wilayah yang jauh dari kota-kabupaten. Well, maybe he's right. Tapi saya sebenarnya pernah bertanya secara langsung pada si istri: apakah kamu tidak mau bekerja? Jawabannya adalah: malas, lagipula suamiku tidak mengijinkanku untuk bekerja. Kata(suami)nya, kalau aku bekerja, siapa yang mengurus anak? Dalam hati, saya curiga jangan-jangan layanan pembantu tidak sampai ke kota mereka.

Saya mengerti bagamana si suami dan keluarganya punya beberapa usaha untuk kelak sanggup menghidupi mereka sampai tua. Namun, baut saya ini bukan tentang uang, ini tentang jiwa, tentang semangat, tentang... mengisi hidup! Perempuan akan punya kekuatan dengan menjadi diri sendiri, dengan membuat hidup mereka lebih hidup, dengan beraktualisasi diri. Saya selalu ingat apa yang dikatakan ibu saya bahwa (bagaimana pun) saya harus bekerja. Apalagi ijazah sudah digenggaman. Pengalaman beliau sebagai ibu bekerja membuatnya sadar bahwa dengan bekerja, istri dapat berperan dalam sebuah keluarga. Bukan hanya membantu kondisi finansial, tetapi juga akan dapat banyak pengalaman dan (yang penting) kemandirian. Dan saya pun meyakininya.

Kalau begini, rasanya kemenangan semangat perempuan yang ingin diwariskan Kartini ada di tangan kaum perempuan sendiri. Mau maju, ayo. Tidak mau, yo monggo...

Comments

  1. Fiuh...ulasan yang "berat". Saya nggak bisa berkomentar banyak. Tapi mungkin anda bisa saksikan komentar saya terkait artikel ini di blog saya....salam.

    http://thomasandrianto.wordpress.com/2010/04/13/testimoni-sang-istri/

    salam.

    p.s. Kata busy bee mengingatkan saya pada film Gladiator yang diperankan oleh Rusel Crow.

    ReplyDelete
  2. makasih mas.... saya udah berkunjung ke adress yang mas link itu... haha... saya juga jadi inget masa "muda" dulu di UGM...

    btw, salam buat si mbak ya (istri) dan si jagoan Joe... ^_^

    ReplyDelete
  3. hahahaha, i sort of like the title at the moment:D continue writing yah bu:)

    ReplyDelete
  4. "...
    Dalam hati, saya curiga jangan-jangan layanan pembantu tidak sampai ke kota mereka.
    ...
    Apalagi ijazah sudah di genggaman. Pengalaman beliau sebagai ibu bekerja membuatnya sadar bahwa dengan bekerja, istri dapat berperan dalam sebuah keluarga."

    kalimatmu menyiratkan jeda antara perempuan di "desa" dan "kota" bun, atau antara perempuan di "daerah" dan "pusat".

    aktualisasi diri membutuhkan konteksnya yg "tepat", sehingga pelakunya boleh merasa nyaman. kalau perempuan merasa aneh dg menjadi "istri" yg harus bekerja di luar rumah, bukankah tawaran/kesempatan bekerja di luar rumah menjadi aneh baginya?

    kukira, harus dimengerti konteksnya mereka "memilih" atau bersikap pasrah seperti itu bun. harus pula dimengerti dari perspektif emiknya, hehe...

    bukankah bekerja di dalam rumah, sebagaimana pernah dibuktikan bahwa hitungan kalori dan ekonominya bahkan melebihi orang yg bekerja di luar rumah? (jika ingin dihitung...). hehe...
    Atau jgn2, seperti kau bilang, nilai anak melebihi apapun yg menjadi cita-cita aktualisasi diri (di luar rumah) karena tak adanya pembantu...

    mungkin kita akan curiga, perempuan-perempuan itu sudah dinina-bobokan oleh tradisi, atau terhegomoni budaya patriarki.

    tapi bukankah aktualisasi diri yang tepat (baca: dirasa pas) sama halnya dg berbelanja barang di mall? kita mempraktekkan konsumerisme dg perasaan senang tp kita dituduh telah "terhegomoni" sikap dan budaya kapitalisme global? tapi tetap saja kita berbelanja dg nikmatnya, hehehe...

    ReplyDelete
  5. iya, konteks sih... tapi itu perempuan kan sudah "memilih" untuk kuliah??
    lalu mau diapakan ijazahnya? lalu apa tujuannya jadi mahasiswi?
    makanya, di akhir tulisan aku juga bilang, semangat Kartini itu kemudian ada di tangan kaumnya sendiri... juga si "mbaknya" itu... hehehe....

    ReplyDelete
  6. mungkin aku mengulang apa yg diandaikan oleh para pendidik, bahwa menuntut ilmu bukan untuk sekolah (mendapatkan ijazah), melainkan untuk menjalani hidup. pepatah latinnya, non scholae sed vitae discimus...

    jd meski ia memilih untuk "kuliah", tak berarti ijazahnya harus disetor ke perusahaan atau kantor pemerintahan untuk dapat kerja, bukan?

    sebab ia memilih kuliah untuk "menuntut ilmu" atau sekedar main-main, mengisi waktu luang sebelum akhirnya bertemu jodoh, hehe... dan ilmunya adalah pengalaman yg diperolehnya dari buku-buku, atau dari orang-orang, yg bakal memenuhi ruang benaknya guna meniti "hidup" selanjutnya.

    hidup yg tak selalu bermakna "kerja" dalam arti harfiah.

    ReplyDelete

Post a Comment