Retno dan Senyumnya yang Pudar
"Mbak, ayo temenin gue."
"Aduh. Lagi?"
"Iya. Abis, mo gimana? Retno udah mohon-mohon banget,
nih."
Di situlah kemudian kami berdua, di pojokan lapangan mungil yang gelap dan
muram dekat toko kelontong kecil. Satu-satunya sumber cahaya adalah dari toko
kelontong itu.
"Lama gak kira-kira?" Aku bertanya sebab rasa dahaga
mulai menggangguku. Bagaimana tidak haus jika kau berdiri dan berbincang sambil
berdiri cukup lama?
"Retno bilang tadi cuma sebentar aja. Yang penting Aa
Hasan sudah tenang."
"Itu dia beneran bawa pisau?" Aku melirik toko
kelontong yang mulai diturunkan separuh rolling
door-nya. Jelas saat ini sudah pukul sembilan lebih. Tak ada toko atau
warung yang bertahan buka lebih larut dari toko ini.
"Gak tau, Mbak. Tapi kalo bawa, kan pasti geger ini satu
kompleks."
Ya jelas lah. Gegernya bukan karena Hasan bunuh diri,
melainkan dia pasti disumpah serapahi bapak-bapak dan om-om tentara: mati aja
sana!
Aku mendengus. Mereka, yang berada di pojok yang lebih gelap
di belakang mobil Kijang doyok di sebelah sana, terasa tak sedang rekonsiliasi
demi penangguhan aksi bunuh diri. Tapi...
Aku menyeret tangan Yani ke toko kelontong dan mengucap "maaf" lalu "hehe" dan menyambar dua Teh Kotak.
"Lu bawa duit, Mbak? Gue gak bawa duit", sahutnya
memelas.
Aku bayar dua minuman itu dan menyerahkan salah satunya pada
Yani. "Masak lo gak haus?"
Toko kelontong kemudian gulita dan rolling door ditutup
sepenuhnya. Setelah pemiliknya menggembok dan pergi, aku dan Yani duduk di
undak-undakan depan pintu toko kelontong. Betapa nyamannya menaruh bokong dan menyeruput
teh dingin.
"Mbak, mau sampe kapan kita di sini?"
"Lo ajak pulang si Retno, deh."
Yani tak protes. Ia jelas sama denganku, jengah menunggui dua
makhluk yang memang seharusnya tidak ditunggui.
Yani kembali dengan paras asam. Teh dinginku baru saja habis.
---
Kami menunggu lagi. Kali ini sudah sambil bercanda dan saling
mengejek seperti biasa. Tak lama Retno memanggil dari kegelapan ujung lapangan.
Kami bergegas menyusulnya.
"Ada Husen, Mbak."
Husen, adik Hasan, boleh dibilang paling tampan di antara
laki-laki empat bersaudara itu. Bagiku, Husen juga bersikap jauh lebih baik dari Abangnya.
"Eh, Anggi."
"Eh, Husen."
"Eh, Yani."
"Ini apaan, sih?" Yani tergelak.
Kami berlima lalu pulang. Aku melihat sekilas rupa Hasan
sebelum kami pulang. Serius, tak ada jejak depresif yang membuatnya berniat
kencang ingin bunuh diri. Ia santai dan menggenggam tangan Retno hingga depan
kompleks.
---
"Tuh kan, Mbak. Gak jadi bunuh diri dia." Sore ini
kami berdua lagi. Kali ini duduk di depan rumah tetangga depanku sekalian
menunggu tukang es krim nong-nong lewat.
"Kan udah gue bilang, gak bakal berani”, sahutku sembari fokus membersihkan kuku.
"Retno cerita sama gue, Mbak."
"Cerita apaan?" Mataku menelisik atap-atap rumah
yang terbuat dari seng.
"Hmm... sebelum Aa Hasan pengen bunuh diri, Retno pernah
diajak ke rumahnya. Terus..."
Sisa cerita mungkin mudah ditebak. Masalah yang sebetulnya
membuat rumit adalah Hasan tak ingin berhenti walau kedua orangtua Retno
mengetahui hubungan mereka dan tidak merestuinya.
"Aa Husen cakep, ya?"
"Eh?" Aku menoleh pada Yani.
"Sayang, pemalu banget", lanjutnya.
Suara bakul es nong-nong terdengar dari belokan kompleks. Kami
terbahak-bahak di sisa sore yang cerah itu.
---
Apakah itu tiga tahun setelah aku resmi meninggalkan kompleks untuk kuliah di Jogja? Atau malah empat? Aku lupa.
Daerah kompleks berubah sedikit. Jumlah tukang becak di
pangkalannya sudah jauh berkurang. Dulu, aku sering naik becak kala berangkat
dan pulang sekolah. Setelah mandiri dan sanggup berangkat sekolah siang
sendiri, aku kadang jalan kaki ke terminal Metro Mini.
Apalagi setelah ada angkutan kecil yang rutenya menggapai
wilayah kompleks yang cukup terpencil ini. Jasa tukang becak semakin jarang
digunakan orang.
Lalu ada mini market baru di sebelah yang lama (yang dulu
disambut dengan euforia jajan tiap pulang
tarawih). Waktu itu mini market tiga warna belum epidemik.
Di sebelah mini market itu, berdiri showroom mobil milik ayahnya Retno. Setelah bertanya pada
karyawannya, ditunjukkanlah rumah di mana Retno masih tinggal bersama
orangtuanya.
Yani beberapa waktu yang lalu mampir di akun sosial mediaku.
Setelah bertanya kabar ngalor-ngidul, aku baru tahu darinya kabar Retno baru
saja melahirkan.
"Hah? Dia udah nikah?"
"Udah, Mbak. Tapi bukan sama Aa. Gue juga gak dateng ke
nikahannya. Waktu itu lagi di Akpol. Kalo lo sempet, tengokin ya, Mbak. Kasian,
tauk."
Aku sebetulnya butuh Yani untuk mengelaborasi kalimat
terakhirnya. Tapi aku tahu, yang harus kulakukan justru mencari tahu sendiri,
bukan bertanya.
---
Aku dan kedua orangtuaku kemudian mencari waktu yang pas.
Sekalian kondangan di kompleks kemudian mampir ke rumah orangtua Retno.
Ternyata, mereka sudah pindah ke kompleks lain yang jaraknya tidak sampai satu
kilometer jauhnya dari kompleks kami.
Rumahnya cukup sepi. Kami harus mengetuk pintu dan menanti
agak lama. Bapakku bahkan memutari rumah untuk mencari kalau-kalau ada pintu
lain selain pintu depan.
Tak lama terdengar sahutan dari dalam. Pintu dibuka.
Ibunya Retno tak berubah meski tentu terlihat sedikit tua dan nampak lelah. Ia tetap bersuara lembut dengan intonasi rendah.
"Maaf ya, berantakan." Ia sigap menurunkan
barang-barang dari sofa dan menguras apa-apa yang ada di atas meja.
Jemuran pakaian bayi menggunung, "musim hujan, jadi gak
kering-kering", selorohnya. Ia kemudian masuk ditelan ruang suwung dan
berjanji memanggil Retno keluar.
Kedua orangtuaku berbisik-bisik yang sebetulnya nyaris
kudengar semua obrolannya. Setelah tamat SMA (yang sekolahnya kerap tawuran
dengan sekolahku), Retno sempat kuliah sebentar. Tak sampai lulus, ia kemudian
menikah.
Aku menerawang. Sebetulnya, sudah berapa tahunkah kutinggalkan
kompleks dan segala kehidupannya? Sudah berapa lama aku berjarak dengan Yani
dan Retno? Sudah sejauh apa mereka saat ini?
Selama ini, aku hanya tahu perjuangan Yani untuk bisa diterima
sebagai Polwan. Beberapa kali menelponku ketika aku masih di Jogja, ia
bercerita betapa sulitnya masuk Polwan. Sempat depresif dan putus asa, aku
sampaikan padanya agar tetap semangat.
Sebab hanya itu yang mampu kulakukan dari jauh.
Ibu Retno membopong seorang bayi mungil yang kutahu sehat dan
montok. Sembari duduk bersama, ia menceritakan proses bagaimana bayi itu
dilahirkan.
Retno dua tahun lebih muda dariku. Sama seperti Yani. Ketika
aku kelas 3 SMA dan jelang kelulusan, kami sudah mulai jarang bersama.
Aku lebih dekat dan akrab dengan Yani ketimbang Retno. Sebab
lebih mudah keluar dan jalan-jalan bersamanya dari pada menunggu Retno pamit
dan mohon ijin orangtuanya.
Walau Yani seorang Hindu, ia tak keberatan keluar sehabis
subuh untuk jalan kaki bersama saat liburan Ramadhan tiba. Kami pun kerap
spontan pergi entah ke mana jika ia sedang bosan.
Rasa rinduku kepada mereka berdua sama besar dengan rasa ingin
tahuku pada kehidupan macam apa yang sedang mereka punya saat ini.
Aku harus memastikan ingatanku benar saat seorang perempuan
muncul dari lorong dalam rumah. Retno.
Ia adalah tipikal remaja perempuan yang riang. Malah kadang
cenderung lebih riang dibanding aku atau Yani. Walau tak semenarik Yani, Retno
selalu punya fansnya sendiri.
Manja, memang. Tapi tak pernah kelewatan.
---
Aku menatap perempuan di depan kami ini. Aku tak yakin ia
masih sanggup mengenaliku. Ah, mungkin memang masih kenal padaku tapi...
Ia hampir tak pernah menjawab berbagai pertanyaan dari kami.
Ibunyalah yang kemudian merapikan percakapan.
Wajahnya nirekspresi. Matanya nirekspresi. Raut wajahnya kini
telah berubah seperti bayi yang belum mengerti bahwa bianglala itu asyik
sekali. Tak bersemangat, tidak pula menunjukkan ketertarikan.
Aku sendiri tak mengerti ke mana kemampuan itu pergi.
Tak banyak yang kami bicarakan sejak Retno hadir di ruang tamu
itu. Ibunya menanyakanku tentang kuliahku di Jogja dan hal-hal lain soal momong
anak--yang kujawab kemudian bahwa semua baik-baik saja.
Obrolan membeku sebentar sebelum akhirnya meleleh karena isak
ibunya. Tak lama kami berpamitan dan aku meninggalkan sebuah kado yang mungkin
tak menggugah Retno untuk menjadi riang kembali.
Pertemuan itu begitu menjejak. Sekalipun itu semata-mata hanya
akan jadi kenangan belaka. Sama seperti kenangan ketika kami main di empang
belakang kompleks.
Kami pernah memburu bekicot dan pura-pura jadi manusia hutan
dengan memasaknya di atas bara seadanya. Atau ketika menelusuri empang hingga
jauh di ujung bersama rombongan anak-anak RT sebelah hanya untuk menemukan
betisku dikecup lintah hingga gendut-gendut.
Mobil kami meninggalkan area kompleks bersama pikiranku yang
tak bisa lagi kususun ulang.[]
---
Reposted from Instagram (was posted on 18 Jan 2019)
Comments
Post a Comment