Retno dan Senyumnya yang Pudar
"Mbak, ayo temenin gue." "Aduh. Lagi?" "Iya. Abis, mo gimana? Retno udah mohon-mohon banget, nih." Di situlah kemudian kami berdua , d i pojokan lapangan mungil yang gelap dan muram dekat toko kelontong kecil. Satu-satunya sumber cahaya adalah dari toko kelontong itu. "Lama gak kira-kira?" Aku bertanya sebab rasa dahaga mulai menggangguku. Bagaimana tidak haus jika kau berdiri dan berbincang sambil berdiri cukup lama ? "Retno bilang tadi cuma sebentar aja. Yang penting Aa Hasan sudah tenang." "Itu dia beneran bawa pisau?" Aku melirik toko kelontong yang mulai diturunkan separuh rolling door -nya. Jelas saat ini sudah pukul sembilan lebih. Tak ada toko atau warung yang bertahan buka lebih larut dari toko ini. "Gak tau, Mbak. Tapi kalo bawa, kan pasti geger ini satu kompleks." Ya jelas lah. Gegernya bukan karena Hasan bunuh diri, melainkan dia pasti disumpah serapahi bapak-bapak dan om-om tentara: mati