Kambing dan Hujan: sedikit ulasan

“Kambing dan Hujan bisa jadi adalah salah satu roman millenial yang ditulis secara santun.” – aku, 2018
Alhamdulilah, kupanjatkan syukur ke hadirat Allah SWT sebab akhirnya Kambing dan Hujan khatam dibaca setelah…setahun kayaknya, ya. Huhu.
 
Begitulah hidupku. Tiap mau tenggelam berkonsentrasi nyelesain baca, salah satu dari dua balita itu tiba-tiba mendekat. Kalo yang kecil bisa dengan gahar ngerampas buku trus ditunggangi sama dia. Kalo balita yang rada gedean palingan kepo aja (tapi sampe nutupin muka, dong). Belakangan aku jadi agak keras kepala karena pas mulai baca lagi, udah lupa ama jalan ceritanya. Yaelah. Jadilah aku bertekad nyikat sampe kelar. (((nyikat)))

Kambing dan Hujan adalah buku pertama Mahfud yang kubaca. Sebelum kenal Kambing dan Hujan, di rumah sebetulnya sudah ada Ulid. Buku itu bercover lama dengan gambar seorang perempuan bertank top. Sempat diceritain ringkasannya tapi kok blom ngerasa pengen baca gitu. Dan hal pertama yang bikin pengen banget baca Kambing dan Hujan adalah logo dan tulisan Pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. *anaknya cetek*
 
DOEENGGG. Astagadragon.
 
Di mataku, bisa tembus DKJ adalah sebuah pencapaian hakiki seorang penulis pemula (selain Khatulistiwa Literary Award a.k.a Kusala Sastra Khatulistiwa). Apalagi, jika orang itu tak jauh-jauh amat dari social circle-ku. Cah UGM pula, dab. *jaw dropping* *UGM centris-nya kumat*
 
Tapi sakjane Mas Mahfud ini gak pemula-pemula amat. Salah satu buktinya ya buku Ulid itu tadi. Dan ada banyak buku-buku lain yang sudah blio terbitkan. (Dawuk, yang terbit setelah Kambing dan Hujan, juga dianggap oleh sebagian orang sebagai buku bagus.) Selain menulis novel, blionya juga blogging dan fokus sama perkembangan film Bollywood jauh sebelum film India hilir-mudik di layar televisi Anda.
 
Oke. Langsung ke ulasannya.

Cover lama, image from here.

Kambing dan Hujan ini sebetulnya adalah roman dengan latar belakang cerita sosio-kultural yang kuat. Walaupun judulnya Kambing dan Hujan, lalu gambar mukanya adalah susu dalam sebotol kaca, isi dari buku ini tema besarnya tetap roman dengan memilih perspektif yang berbeda. Premis ceritanya memang menarik dan cara bertuturnya itu… hhmmm… (Gak heran bisa jebol DKJ, Mas.)
 
Romansa yang dibangun di sini bukanlah romansa orang dewasa di awal usia 20-an dengan latar perkotaan tahun sekarang di mana yang mungkin terjadi adalah pertengkaran-pertengkaran karena orang ketiga atau hubungan jarak jauh. Bukan itu.
 
Sebab sejatinya memang akan selalu ada “phak ketiga” di antara sebuah hubungan, maka dalam Kambing dan Hujan pihak itu muncul dalam bentuk…orang sekampung. Serius. Sekampung.
 
Pacaran ga direstui orang tua aja udah berat, lha ini sekampung wkwk.
 
Buatku, hal lain yang mungkin tidak ditawarkan novel roman lain adalah bagaimana Kambing dan Hujan selalu melibatkan romatisme masa kegemilangan para orang tua. Jadi, alih-alih menentang dan berontak, sepasang pemuda yang sedang berjuang ini malah dengan sengaja cari cara lewat romantisme itu untuk kemudian coba memahami orang tua mereka. 

Ribet? Mana ada perjuangan demi restu yang ga ribet, bray. Wkwk.
 
Mereka memilih jalan itu bukan atas nama nostalgia melainkan karena ada perbedaan yang sekentara hitam-merah dan tak mungkin dibayar hanya dengan permakluman belaka. Ini gue ngomongin restu di antara dua orang yang sama-sama Islam, ya. Iya, sesama muslim. Mau kabur bareng, kok ya masih satu kampung. Mau nyari yang laen, kok ya katanya udah Trisno eh tresno.
 
Dan pula gengsi, kawanku, emang bikin hidup lebih ribet. Gengsi minta maaf, gengsi memaafkan, gengsi memulai duluan… apa ajalah. Tapi semua akan menemukan muara ketika kau harus menurunkan standar (kegengsian) saat sudah mulai bersinggungan dengan orang laen. Apalagi dia anak sendiri.
 
Oiya, tadi kan aku bilang ini perselisihan sesama muslim, ya. Tapi buku ini tendensius untuk menyebut A atau B. jadi semacam main tebak-tebakan yang ga butuh mikir banget sebenernya.
 
Lalu, aku suka sama gaya bertuturnya Mahfud karena setelah Kambing dan Hujan selesai, aku langsung baca Dawuk dan ternyata impresinya masih sama. Entah, gaya nulisnya Mahfud dipengaruhi siapa, tapi aku bisa bilang itu pasti di antara Kuntowijoyo atau Eka Kurniawan atau Ahmad Tohari. *banyak, ye*
 
Bedanya, premis cerita dan alur yang dibangun dalam Dawuk menurutku lebih kokoh. Pemilihan dan deskripsi karakter-karakter yang dihidupkannya pun bagus. *ga punya ukuran lain selain “bagus”, hvft*
 
In some points, this book remind me of Ronggeng Dukuh Paruk and some short stories by Kuntowijoyo. Ada beberapa cara bertutur dan latar belakang cerita yang sama memukaunya. Tapi buat aku sendiri sih yang paling utama ya latar ceritanya. And I am craving for more good books like this.[]