Schatzi dan Memori

Hari ini jadi ujian?

Pesannya masuk. Kubalas: jadi, nanti jam dua. Kau kuliah tak?

Satu menit. Dua menit. Ruang percakapan tak terlihat ada kehidupan. Kututup ponselku. Melaju bersama ojek sepeda motor pada jam-jam makan siang memang bukan ide yang bagus. Pun memutuskan kuliah ekstensi yang hanya punya jadwal pada jam-jam itu juga bukan ide bagus.

Kampusku tak jauh-jauh amat sebetulnya. Rasa enggan yang membuat jadi berlipat jarak tempuhnya. Kuliah ekstensi ini hanya sambilan saja. Utamanya tentu skripsi. Dan, ya, mana utama mana sambilan kadang hanya teori.

Aku hampir tujuh tahun membenamkan diriku di kampus utama. Kalau ditanya Ibu atau Bapak, jawabanku antara: belum di-ACC dosen atau masih proses nulis. Nulis apa?

Jika dipikir-pikir, tujuh tahun itu cukup lama. Apalagi bagi aku yang sering sibuk jadi freelancer ecek-ecek mentranskrip wawancara orang saja.

Pesan balasan darinya masuk: males, nanti kutemani kamu saja.

Ujian jam dua ini adalah ujian percakapan. Sepele buat orang lain, tapi lumayan rumit untukku yang masih belepotan menyusun kalimat dalam bahasa inggris. Kelas sudah ramai tapi (untungnya) dosen belum tiba.

Mau ke kampus, ndak? Aku tulis pesan balasan sesampainya di kampus. Semua orang sudah bersama pasangan ngobrolnya nanti dan sedang pemanasan. Casciscus.

Pesan masuk. Katanya: sudah di kampus. Aku tunggu di dekat fotokopian.

Lelaki ini, belum lama kukenal. Dulu ngobrol karena dia butuh uang kecil waktu mencetak dua lembar tugasnya. Kubaca kertasnya seperti tugas mata kuliah tata bahasa. Aku malah minta dicetak satu salinannya untukku sendiri. Buat contekan. Begitulah kalau lebih sering bolos.

"Kamu kelas berapa? Kok mata kuliah ini sudah ujian?"
"Kelas B. Ini tugas susulan. Ujiannya sudah Selasa lalu."
"Waduh. Aku juga ikut yang kelas B. Kayaknya aku butuh dipandu, nih. Boleh aku minta salinan tugasnya?"

Minggu berikutnya, kami baru bertemu untuk pertama kalinya di kelas yang sama itu. Dia anak Bandung. Tapi belum pernah jajan cireng yang populer di depan kampus. Waktu jeda aku ajak dia ke sana. Aku yang bayar, katanya. Bayar hutang di tempat fotokopi kemarin. Hutang dua ribu, dia bayar dengan cireng lima ribu.

Beres ujian, aku temui dia di fotokopian. "Mau ke mana?" tanyanya. "Jangan lotek, plis" sambungnya. Aku tergelak. Lotek favoritku. Es teh favoritnya. 

"Aku sudah makan, kok. Semesta aja, yuk?" Ia lalu mengacungkan jempolnya dan memberikan helm padaku.

Semesta ini salah satu kafe tempat "pelarianku". Kala suntuk, gabut atau kudu ngebut selesaikan transkrip. Dia jadi ikut suka dengan tempat ini yang ternyata tak begitu jauh dari kosnya.

Lelaki ini masih kecil. Eh, muda, maksudku. Baru tahun pertama kuliah. Dia banyak tanya soal skripsi. Juga soal kenapa Kodaline harus bikin video bersambung tiga untuk lagu yang sama. Soal bubur diaduk atau tidak. Soal puisi Sapardi mana yang paling romantis.

Aku lebih banyak tatap wajahnya lama-lama. Niatku, jam setengah empat minta diantar balik. Tapi orang ini sepertinya punya mesin waktu atau kemampuan gendam. Ketika tetiba sudah jam empat lewat sepuluh, aku biarkan dia yang masih bercerita. Gelas-gelas baru berisi teh leci dan jus datang. Gelas-gelas yang isinya sudah tandas segera diangkat menjauh. Percakapan tak usai-usai.

"Pulang, yuk."
"Kuantar ke rumah, ya?"
"Jangan. Kamu nanti pulangnya nyebrang dari timur ke barat. Kejauhan." Bukan, sih. Bukan itu alasannya.
"Yuk. Mau hujan."

Memangnya aku bisa bilang apa? Kamu sudah pernah tahu semua akhirnya. Angin dingin menepuk-nepuk pipi. Seandainya tamparan hidup sesejuk ini.

"Makasih, ya."
"Gitu aja, nih?" Kalimat standar minta bonus.
"Ya... Besok lagi, deh."
"Gitu doang?" Tuh, kan.
"Ya nanti aku kasih bintang lima, ya. Bye!" Aku berlari sebab gerimis makin menjadi.

Ia tergelak dan kembali memasang helmnya. Lalu bunyi klakson tanda pamit. Deru motornya masih kudengar saat aku berbelok ke parkiran.

Sialnya, wanginya masih singgah di jaketku.[]
ditulis pada 27 Maret 2018