The Patience Stone (2013)
Kadang ada masa di mana gue pengen nonton film-film yang ada
di daftar “best movies ever”, atau yang macem pemenang film festival gitu. Tapi,
ya, film-film itu biasanya bertema besar sosial-kultural dan berdasarkan peristiwa
nyata. Alhasil, apa-apa yang terjadi di atas permukaan bumi ini bisa muncul
dalam adegan-adegan di film itu. Dan pada beberapa hal, itu bukan kabar baik
buat gue.
Gue udah bukan tipikal penonton yang ga bisa ga baper liat
adegan ga manusiawi, huhu. Jadi suatu malam gue coba nonton 12 Years of
Slave, gue ga bisa bertahan lebih dari empat menit, haha. FYI, itu dari
filmnya mulai—sampai, yha, empat menitan itu tadi—scene-nya tentang orang-orang
budak di suatu persembunyian atau semacam tempat penyiksaaan(?). Gue
bener-bener tutup laptop waktu tokoh utamanya digebukin gak kelar-kelar pake
sebongkah kayu(?). Serius, DIGEBUKIN. Macem kasur. Serius.
Who the hell on earth can stand with such an horrible
scene like that? Ya minimal buat kaum kayak gue ini lah, hohaha. Mana
nontonnya kan jelang tengah malem dan sendirian, ya. Haha. Bubar aja lah.
Wkwkwk. Lalu, gue dapet info tentang film The Patience Stone ini. Konon,
film ini didadaptasi dari novel dengan judul yang sama dan jadi pemenang
beberapa film festival juga. Uhwow, gue penasaran.
Karena belum pernah denger sekalipun novelnya, yha, skip aja
ya. Nama-nama penulis, sutradara sampai aktris-aktornya juga blom pernah tau
sama sekali. Tapi justru itu asiknya. Kalo udah terkenal kan ya mungkin bisa
nebak kualitas filmnya kayak gimana.
Dari latar belakang filmnya, sih, ini tema besarnya soal
perempuan dan seksualitas, ya. Dua hal yang buat gue cukup menarik karena berangkat
dari garis kultur Timur Tengah. Flip coins issue. Bertentangan, tapi bersisian.
Tabu, tapi tereksploitasi.
Kalo setting-nya, tempatnya ga bernama. Kondisinya di tengah
perang. Duh. Dari film ini gue jadi bisa ngebayangin situasi perang tuh kayak
macem apa, sih. Selama ini, di pikiran gue kalo perang ya, baku tembak dan
orang-orang sipil pada lari atau ngungsi ke tempat jauh. Ternyata gak melulu
begitu. Kalo level perangnya belum intens (seperti dalam film ini), warga bisa
bangun bunker sendiri di bawah rumahnya. Mereka pergi ke sana tiap bom mulai
pecah di sana-sini. Nah, ketika ga ada bombardir, warga tetap keluar rumah
walau gak sering-sering.
Situasi chaos makin terasa saat kehabisan air dan listrik
padam. Apalagi ada anak-anak. Ya Rabb…
Inti cerita sebetulnya adalah si aktris utama (mari sebut
dia Si Istri, sebab ia pun tak bernama) yang bermonolog di depan suaminya yang sudah
koma selama sekitar dua mingguan karena ada peluru di lehernya. Si Suami ini
sungguh-sungguh hanya tiduran aja. Macem dibilang hidup segan, mati belom sampe.
Mungkin awalnya untuk mengusir sepi aja, Si Istri mulai monolog dengan suaminya
itu.
Kalo dipikir-pikir, kadang masa sekarat justru menjadi masa
paling berat untuk melepaskan. Ye gak? Kita akhirnya minta maaf dan sebaliknya,
memaafkan pada siapapun yang kita sakiti/disakiti selama kita hidup. Beban psikisnya
sangat terasa karena inilah momen batas akhir kita dengannya. Kita ingin membangun
bonding untuk yang terakhir kalinya. Kita ingin saling jujur. Kita ingin
menciptakan kesan yang berarti. Bahkan, jika boleh, mungkin kita pun ingin
beretukar tempat dengan si sakit.
Pertanyaannya: mengapa hal-hal itu tak kita lakukan selagi
sehat?
DOEENGGG.
Mengapa tak menggenggam tangan, berpelukan, menyampaikan
cinta-maaf-terima kasih, bayar hutang *lah*, tertawa bersama, membuka rahasia,
bicara tentang luka-penyesalan-trauma, saat si sakit ini masih sehat? Mengapa kita
bertendensi untuk menggenggam erat saat waktunya melepaskan? Gue jadi rada
kontemplasi selama nonton, ahiak!
Suami-istri ini sudah sepuluh tahun menikah dan ketika SI
Suami sekarat itulah Si Istri merasa benar-benar mencintainya karena tak ada
lagi rahasia yang ia simpan. Ini menurut gue cinta level dewa, ya. Etapi tergantung,
ding. Istrinya kan belom dengerin rahasia versi suaminya. Jangan-jangan dia ga
rela wkwkwk.
Jadi isu utama antara perempuan dan seksualitas ini
sebetulnya jadi bersinggungan sama agama (speaking of which, Islam) dan konsep
ketuhanan. Misalnya, waktu Si Istri menggugat Tuhan tentang mengapa suaminya
tak kunjung sadar. Atau, tentang konsep dosa sebab ia akhirnya menikmati seks tapi
bukan bersama suaminya.
Film ini menurut gue juga terasa teatrikal. Maksudnya, scope
ceritanya ga rumit. Penokohannya pun fokus. Dan gue tetep deg-degan kalo lagi
adegan dia balik ke rumahnya yang udah sepi penduduk itu. And I just can’t
imagine if I were in her position. Mau nyelametin diri dan anak-anak, masih ada suami yang ga bisa kemana-mana. Mau stay di
sana, lah ga aman banget buat dia dan anaknya. :(
Yang mau nonton, sila streaming ato donlot lah. Ini tayang
udah dari tahun 2013an kayaknya. Hahaha. Pankapan saya akan review film lainnya
lagi, ya. Doakan saya masih sanggup streaming-an tengah malem. Wkwkwk.[]