:: muara senandika ::

Malam ini (21 April 2018) sengaja pengen posting di blog bukan dalam rangka hari Kartini. Karena sebetulnya aku gak sadar kalo hari ini adalah 21 April. Waktu liat timeline Instagram dan Facebook banjir soal Hari Kartini, akhirnya baru ngeh, deh. Yang mau kutulis ini juga gak bernada feminisme, sih. Because in some point, celebrating Kartini’s day and correlating it with feminism is overrated. Jadi, ya, cuma sekadar cerita ajalah, ya. I don’t think beauty standard society gives us is quite obvious. I thought it was until I realized that beauty standard is something that has double sided perspectives. Maybe you are think the same way that beautiful is “normally” looks like someone who has fair skin, long hair and legs, symmetric nose and lips, curvy and huge boobs, and slender body. But, no. In a world where beautiful is a something eye candy, we never ever get there—by all means—just with ourselves alone. And society will always have a way to repress and insult yo...

Kadang ada masa di mana gue pengen nonton film-film yang ada di daftar “ best movies ever ”, atau yang macem pemenang film festival gitu. Tapi, ya, film-film itu biasanya bertema besar sosial-kultural dan berdasarkan peristiwa nyata. Alhasil, apa-apa yang terjadi di atas permukaan bumi ini bisa muncul dalam adegan-adegan di film itu. Dan pada beberapa hal, itu bukan kabar baik buat gue. Gue udah bukan tipikal penonton yang ga bisa ga baper liat adegan ga manusiawi, huhu. Jadi suatu malam gue coba nonton 12 Years of Slave , gue ga bisa bertahan lebih dari empat menit, haha. FYI, itu dari filmnya mulai—sampai, yha, empat menitan itu tadi— scene­ -nya tentang orang-orang budak di suatu persembunyian atau semacam tempat penyiksaaan(?). Gue bener-bener tutup laptop waktu tokoh utamanya digebukin gak kelar-kelar pake sebongkah kayu(?). Serius, DIGEBUKIN. Macem kasur. Serius. Who the hell on earth can stand with such an horrible scene like that? Ya minimal buat kaum kayak g...