Harus mencari "bahagia" ke mana? (review buku "The Geography of Bliss")

"That's because happiness, bliss, is in the hands of Allah, not man. If we are happy, it is God's will and, likewise, if we are miserable it is also God's will." -page 158
Konon, bepergian dapat melepas stres. Saya setuju. Entah itu annual travelling atau sekadar piknik tipis-tipis. Pada tiap perjalanan ada memori yang tertanam: pengalaman yang menyenangkan ketika menuju destinasi, ketika berada di sana bahkan sampai bepergian telah usai.

Coba lihat manusia jaman sekarang. Piknik jadi hal yang sakral dan seolah-olah kebutuhan primer. Salah satu patokan menjadi bahagia adalah dengan piknik. Jika seseorang terlihat desperate, maka sangat mudah menudingnya tidak bahagia. Karena itu, sering kita mendengar kelakar: situ kurang piknik, ya?

Eric Weiner, seorang mantan jurnalis, mencoba mengeksplorasi makna bahagia. Caranya menginvestigasi tidak main-main. Ia sampai menemui seorang "profesor kebahagiaan", seseorang yang telah lama mengulik studi kebahagiaan.

Keren, ya? Kebahagiaan aja sampe dipelajari. Situ udah sampe mana nyari kebahagiaan? X))

Menurutnya,bahagia itu tidak berasal dari sini *nunjuk dada*. Ia curiga kebahagiaan justru ada di luar sana. Didapat dari tempat yang jauh di sana. Tesisnya ini membuat sebagian orang yang mengimani bahwa bahagia berasal dari dalam diri itu jadi mentah belaka. *dyaarr*

Kenapa jauh? Kenapa berupa destinasi? Kenapa kebahagiaan tidak ada di dalam sanubari?

Weiner mengambil perumpamaan surga. Surga pada sebagian orang (yang mengimaninya) adalah sumber kebahagiaan. Apakah surga ada di dalam hati? Surga sejatinya adalah destinasi, tujuan. Surga merupakan bahagia berwujud lokasi.

Masalahnya, pada tiap tempat memiliki parameter bahagia yang berbeda. Apakah orang Swiss bahagia jika keluar dari negaranya? Apakah orang India bahagia dengan tempat tinggalnya? Bagaimana ukuran bahagia penduduk Belanda? Apakah dengan bergelimang harta, warga kaya raya di Qatar bahagia?

Dari sana, ia kemudian menjelajah ke banyak negara. Mencoba memverifikasi kebahagiaan di banyak tempat. Studi Weiner ini sangat antropologis. Jadi, kalau kamu anak Antro, bacalah buku ini. Kalau kamu merasa review ini sangat antiklimaks, kamu juga harus baca. Wkwkwkwk.[]

Comments