(Bukan) tinjauan buku Intelegensi Embun Pagi

Orang mah foto buku masih mulus, ini udah kriwil, pembatas buku lecek pulak.
 
Apa yang saya tulis ini mungkin ada unsur bocoran isi buku Intelegensi Embun Pagi (IEP). Tapi saya tidak sepenuhnya mau mengulas isi IEP apalagi membuat review panjang Supernova. Monggo dibaca sendiri saja (sambil menikmati ekstasenya). Yang mau saya ungkap di sini adalah beberapa keriaan yang saya alami selama membaca IEP (which is less than 48 hours--baca buku apa semedi, Buuuu?).

Emang keriaan macem apa, sih?
Pada Supernova, saya paling menikmati plot cerita yang dibuat jenaka. Makanya paling suka sama Petir. Di IEP, ada beberapa plot jenaka yang--well--lumayan jadi gak tegang karena nungguin klimaks dan endingnya. Selain itu, di IEP semua figur hadir (oh, gak SEMUANYA juga, sih). Macem reuni gitu ya, Kaaak? *lirik judes ke Gio dan Zarah* Karena semua hadir, rasanya mudah sekali untuk komparasi karakter mereka satu persatu. Lalu memilih satu di antaranya untuk dijadikan #teamsiapagitu. Iya, lho. Situ capek-capek baca trus gak pilih tokohnya, buat apa? Ini Supernova terakhir, lho. *dilempar Simon ke jurang Simaung-Maung*

Waktu membaca Gelombang, saya (dan mungkin jutaan perempuan lainnya) jatuh cinta pada Alfa. Tapi kalau mau dirunut sih, saya sebetulnya cinta pada kehidupannya sebagai lelaki Batak (terima kasih kembali, Mak Suri). Iya, bener. Dari Gelombang-lah saya belajar budaya Batak dengan lebih dekat. Klise amat jatuh cinta sama tokoh yang cerdas, punya banyak pencapaian akademis, dan konon tampan. Dih. (Ciyeee, dendam nih?)

Kelar membaca Gelombang, saya membatin: ah, figur Alfa ini klise amat. Bodhi still better.

Eh, Bodhi?
Yes. Selain Petir, saya suka sama Akar. Pada Akar juga banyak hal jenaka dan adventurous banget. Apa yang lebih menakjubkan dari jalan-jalan pagi di kebun ganja? Ngahahaha. Atau kejar-kejaran sambil takut digranat di daerah perbatasan, mungkin?

Betapapun Bodhi ini solo traveler in a solitaire soul (ciyan anet ni anak, sini peyuk duyu), buat saya dia tetap kharismatik. Bakal panjang kalo mau membedah kenapa dia begitu memukau. Salah satunya mungkin karena Bodhi ini woman less, ya (dibanding Gio dan Alfa--yang obsesif amat itu). Inget kan gimana dia gemetaran waktu bikinin tato Ishtar Summer? Dan rasanya gak ada juga perempuan dalam hidupnya. Jomblo apa gak doyan sih, Bang?

Ketika mulai membaca IEP, rasanya deg-degan. Antara takut (semacam ketakutan ada split gitu, trus ketahuan punya ekspektasi yang berlebihan, hahahah) dan--tentu saja--bersemangat sama endingnya para Peretas. Ketemu lagi sama Bodhi dan Alfa dalam satu buku (dan pada banyak plot juga), bikin saya yakin saya adalah #TeamBodhi.

Gio gimana, dong?
Aish. Lelaki itu too good to be true. Flawless amat jadi orang, Bang? *dicekokin Ayahuasca*

Adegan favorit saya di IEP adalah ketika Bodhi bersama Kell. Yes, I also love him. They arguing a lot. Rasanya dalam hidup ini kita butuh satu temen ngehek macem dia, hanya supaya kita bisa menertawakan hidup dan diri sendiri. *menatap kosong ke awan-awan* Serius, deh. Punya temen macem Kell itu nyebelin. But also ngangenin. Kangen pengen nabok mulutnya. Yes, #KellForLife. Eh, #TeamChenDoll aja deh.

Nah itu versi laki-lakinya. Kalo perempuannya? Tetep Elektra, sih. Meski akhirnya ketahuan kalau Etra itu polos-polos be--*dibekep Sati* Tapi tiap episode Zarah nyariin bapaknya selalu bikin saya terenyuh. Betapa anak selalu punya celah dan cinta untuk orang tuanya, ya--iya. Sebesar apapun dosa orang tuanya. Oh, saya nangis beneran waktu Zarah ke makam Abah dan ketemu Ibunya di sana. Jarak yang begitu lebar itu tidak berubah. Hanya saja ada yang luruh dan menguap. *ambil tisu*

Jadi, saya adalah #TeamBodhi, #TeamElektra dan #TeamChenDoll. Kalau kamu?[]

Comments