Tantrum: how to deal with...

"Engga mau! Pokoknya aku mau sekarang!!"

Wiuh... Ngeri banget deh... Kalimat di atas itu, mengutip apa yang pernah dilakukan Chiya, putri saya. Ketika pada kondisi ini, dia betul-betul berontak, berteriak dan sama sekali tidak bisa dibujuk. Hal ini belum lama terjadi dan itu adalah pengalaman pertama kali sejak kami menjadi orang tuanya. Kami sebagai orang tuanya pun bahkan heran: mengapa ia yang biasanya bisa dibujuk dan diberitahu secara halus, sama sekali tidak tergoyahkan? Sama sekali tidak mau mendengarkan kami, menatap mata kami, dan bersikukuh dengan keyakinannya sendiri.

Bingung kan?

Okay... Ketika pada momen itu, saya pun merasakan bingung yang mungkin cenderung pada perasaan kecewa. Mungkin saya kecewa karena Chiya tak lagi "manut" seperti dulu. But well, life goes on and she's turned to be a big girl. Mau disadari atau tidak, mau diterima atau tidak, sebetulnya pertentangan macam itu pasti muncul. Pasti ada. Namanya juga manusia, ya. Harus diakui pula, bahwa bagaimana pun, mereka punya persepsi sendiri. Mereka pun berhak berargumen pada kita, orang tuanya. Masalahnya, sekarang hanya pada tekniknya, cara mereka mengutarakan pandangan-pandangan mereka sebagai makhluk merdeka. Sebab, meskipun mereka adalah anak kita, tak selamanya mereka akan jadi anak-anak. Dan belajar melepaskan asumsi itu, butuh waktu. And so do this things.

Pada istilah parenting, apa yang dialami Chiya disebut tantrum. Saya tak tahu pasti definisi presisinya, tapi kurang lebih begini: tantrum adalah kondisi di mana anak merasa tidak nyaman dengan lingkungan atau bahkan dirinya sendiri dan diekspresikan dengan cara yang keliru, seperti teriak-teriak, marah-marah, membanting barang, dan sebagainya. Oleh sebab itu, karena sebetulnya tantrum adalah cara pengekspresian yang keliru, yang harus dilakukan orang tua adalah "meluruskannya". Metode yang bisa ditempuh ada beberapa cara, namun sebelumnya, kita pilah-pilah dulu tingkatan tantrumnya, ya...

Dari pengalaman saya, sebelum menjadi tantrum (berteriak-teriak atau mengamuk), biasanya ada tingkatannya. Awalnya anak hanya merengek-rengek, pada level ini, soft bargain masih bisa ditempuh. Tawar menawar masih lunak. Penjelasan dalam bahasa yang sederhana masih bisa diterima oleh anak. A simple case, for example, kalau anak mau makan sendiri atau ingin melakukan sesuatu by themself, biarkan saja. Pertama, ini adalah bagaimana kita sebagai orang tua memberikan ruang bagi anak untuk belajar mandiri. Kedua, sekalipun membuat berantakan atau apa yang dikerjakannya tidak maksimal: yang harus diingat adalah bahwa ini bukan sesuatu yang krusial untuk dipermasalahkan. So let them go...

Lalu pada tingkatan selanjutnya, masuk pada level medium, di mana juga diperlukan medium bargain. Di posisi ini, orang tua harus mau melunak dan mulai memperhatikan posisi si anak juga. Jika sekiranya anak sudah memohon dengan cara yang sopan dan situasinya sebetulnya tidak begitu krusial, orang tua bisa mulai untuk mempertimbangkan tawarannya. Solusi yang ditawarkan pun sebisa mungkin adalah win-win solution. Misalnya, jika anak merengek minta permen ketika sudah saatnya makan siang. Pertama, karena ini menyangkut hal krusial (aktivitas makan), maka tawaran orang tua harus agak dinaikkan. Kedua, jika memang makan permen tidak dilarang, (dalam jumlah yang dibatasi dan kontrol kualitas permen), pilihan tawarannya adalah: orang tua bisa memberikan permen SETELAH makan siang. Ingat, jangan terlalu keras namun juga jangan gampang mengalah. Pada titik ini, proses bargain mulai sulit dan membutuhkan konsistensi orang tua. Jika kesepakatan telah tercapai, apa yang dijanjikan harus dipenuhi.

Level yang paling tinggi, tentu saja tantrum. Anak bisa mengalami tantrum ketika orang tua tetap bersikukuh pada keputusannya. Sebagai orang tua, kita memang harus mempertahankan hal-hal yang prinsipil seperti persoalan sopan-santun, jadwal makan atau hal-hal rutin lainnya. Orang tua wajib bertahan dalam hal ini. Jika anak mulai mengalami tantrum, ada beberapa hal yang bisa diperhatikan.

Mungkin ketika mencapai titik ini, orang tua mulai jengah untuk berdialog. Ya, tidak mudah memang. Apalagi jika anak mengalaminya di tengah orang banyak atau di tempat umum. Dari yang pernah saya baca, sebetulnya mengatasi tantrum bukan dengan sikap yang sama-sama keras (saling berteriak atau kasar) juga tidak dengan cara yang terlampau "lembut" seperti membujuknya. Solusinya adalah: tetap tenang ketika anak mulai marah-marah atau berteriak. Biarkan saja sampai ia tenang. Jangan melayani tantrumnya. Saat dia tidak mendapat perhatian orang tua, tantrumnya akan berhenti. Kemudian ketika ia sudah cukup tenang untuk didekati, bantu ia untuk mendeskripsikan perasaannya. Misal: kamu kenapa marah-marah? Lapar? Capek? Kalau kamu capek, kita bisa istirahat di kamar. Atau nanti Bunda ambilkan buku cerita.

Penting sekali untuk membantunya mengetahui apa yang sedang dirasakan dan memberinya pilihan jalan keluar. Saat ia sudah benar-benar tenang, orang tua bisa mendekatinya dengan hangat. Tantrum adalah suatu kondisi di mana anak belum bisa mengekspresikan perasaannya dengan kata-kata. Yang utama adalah memberinya semacam "keyword" untuk membantu mengidentifikasi emosinya. Ini membutuhkan kegigihan yang tinggi karena sebetulnya durasi tantrum pada tiap anak berbeda-beda.

Yang harus diingat:
1. Bedakan reward dengan menyuap.
Saat anak tidak mau mandi, kita menjanjikannya ice cream cone kesukaannya rasa blueberry. Well, that's tricky! Kita bisa memberikannya es krim, SETELAH aktivitas mandi selesai. Proses bagaimana membujuk dan bargain agar ia mau mandi, memang sulit. Tapi "menyuapnya" juga tidak baik. Kebiasaan ini akan membuatnya terbiasa dengan "upah" tiap kali kita menginginkan sesuatu darinya. Bad habbit!
2. Memberi alasan yang tidak logis,
hanya sekedar menakut-nakutinya. Yang ini, jangan dilakukan, ya... Biasakan anak mendengar apa yang sebenarnya. Agar logika berpikirnya juga selalu rasional. Katakan bahwa ia tidak boleh bermain di luar rumah pada malam hari karena ia seharusnya belajar di rumah dan berkumpul dengan anggota keluarga lainnya. Jangan katakan bahwa di luar sana ada setan "wewe gombel" pemakan anak kecil berkeliaran! Stay true!

Comments

  1. setuju sama alasan yg kedua. anak ku gak tau loh yg namanya setan atau hantu. aku marah kalau orang disekitar menakut2in anakku :)

    ReplyDelete
  2. kalau pengalaman saya sm shinfa, tiap dia minta 'sakdek saknyet' = seketika, saya selalu menjelaskan kenapa tidak bisa sekarang, dan bisanya besok atau lusa. dan so far, shinfa bisa mengerti meski awalnya juga ngotot. salam kenal ya bun, makasih sudah mampir ....

    ReplyDelete
  3. untungnya aku gak pernah menyuap farrell agar dia melakukan apa yg dia tidak mau lakukan...cuma yah ngasih pengertian sampe capek juga mulut hehehe...met kenal yah bunda

    ReplyDelete
  4. hehe, ternyata ceritanya beda-beda dan lucu2 yah... moga saja cara mendidik kita jauh lebih baik dan bisa menciptakan generasi yang lebih hebat juga... hidup bunda indonesia!!

    ReplyDelete

Post a Comment