Anggun dan proses bargain dengan anak

Tulisan ini terinspirasi dari pengalaman saya menemani Chiya makan sore di luar rumah. Sembari menyuapi, biasanya dia bermain dengan beberapa temannya yang juga sedang makan sore. Kemudian ada temannya yang bernama Anggun yang tak mau makan dan terus menghindari ibunya. Ibunya dengan tergopoh-gopoh mengejar anak-anaknya yang bermain sepeda dan jalan-jalan. Selain Anggun ada adik lelakinya yang biasanya juga disuapi ibunya setiap sore. Repotnya, selain harus bergantian mengejar-ngejar anak-anaknya, si ibu juga harus meladeni permintaan mereka yang macam-macam. Seperti pada sore itu, adiknya Anggun mau makan meski dengan jalan-jalan ke sana kemari. Lalu ketika gilirannya untuk menyuap, Anggun beralasan ini-itu, dia minta dibikinkan es teh, barulah dia mau makan. Sebetulnya, pada momen inilah terjadi proses bargain atau tawar menawar.

Sang ibu ternyata tak kuasa pada rewelan anaknya itu. Mungkin karena lelah juga. Kemudian ia masuk rumah dan tak lama membawa segelas es teh dengan es batu mengambang-ambang. Setelah itu, ternyata belum selesai, setiap sekali suap, Anggun merengek minta minum es teh. Sekali lagi, ibunya pun tak kuasa. Padahal, katanya sehari kemarin dia juga begitu, dan semalaman Anggun tidak bisa tiudr karena harus bolak-balik pergi ke toilet untuk pipis. Merepotkan ya?

Selalu ada proses tawar-menawar dengan anak. Pasti ada. Sebab, selain karena anak sudah mulai bisa mengutarakan pendapatnya, itu juga tanda bahwa kita sebagai orang tua harus bisa memposisikan diri secara seimbang. Ada beberapa bargain yang harus ditolak, ada pula yang harus mengalah. Momen di mana kita bisa mengalah adalah di mana ketika apa yang diminta anak bukanlah hal yang krusial. Misalnya, persoalan memilih baju. Sebaliknya, momen di mana ada proses bargain yang harus diberikan harga mati adalah di mana anak merengek untuk hal-hal yang krusial. Misalnya, seperti Anggun tadi.

Saya mengerti, ibunya Anggun mengabulkan permintaan anaknya karena beliau ingin "main aman". Artinya, dia lelah jika harus melakukan hard bargain dengan anaknya yang akan berujung pada rengekan atau bahkan tantrum. Pun ia ingin tugas memberi makan anaknya cepat selesai tanpa harus "berperang" dengan anaknya. Meski, belakangan nanti ia akan kerepotan dan baru bisa tidur jam dua pagi.

Menurut saya, proses tawar-menawar yang dilakukan ibunya Anggun belum maksimal. Apalagi yang dihadapinya adalah persoalan krusial, yaitu: aktivitas makan. Sebetulnya proses tawar-menawar bisa dimulai dengan cara yang halus, hingga sampai pada tawaran yang mungkin agak mengancam. Misalnya: akan dibuatkan es teh setelah makannya selesai. Atau yang paling keras: tidak ada es teh kalau merengek terus. Ibu pasti bisa memahami perangai anak dan mengerti seberapa besar toleransi yang bisa diberikan padanya. Untuk itu, jangan pernah mengalah pada hal-hal yang seharusnya diperjuangkan demi kebaikan bersama. Namun, juga bukan berarti kita harus selalu bersikap keras pada mereka.

Comments